Rabu, 22 Agustus 2012

ZUBAIR BIN AWWAN



Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”, (Abu Dawud, al-Baihaqi, dan Ibn ‘Ady)
Dewasa ini gosip tentang perceraian artis sudah seperti kacang goreng di televisi. Pemicunya pun dipaparkan begitu rupa oleh infotainment dengan jelasnya. Kehadiran orang ketiga kerap menjadi pemicu terbanyak sebuah perceraian. Kali ini, kita tidak sedang bergosip tentang retaknya pernikahan seorang yang biasa.
Sekali lagi, kita tidak sedang bergosip. Kita hanya sedang mengambil ibrah dari perceraian pasangan mulia ‘Asma binti Abu Bakar dan Az Zubair Bin Awwan. Mereka adalah dua sosok generasi pertama yang menikah dan memperlihatkan bahwa perceraian pun dapat terjadi pada pernikahan para sahabat. Dalam buku Pengikat Surga, disebutkan bahwa kehadiran Atikah binti Zaid adalah penyebab utama perceraian mereka. Para muslimah tentu dapat membayangkan betapa terlukanya hati ‘Asma binti Abu Bakar, seorang istri yang diceraikan karena kehadiran istri lain.
Mengapa ‘Asma binti Abu Bakar diceraikan oleh seorang suami yang kiprahnya dalam medan jihad membuatnya mendapat kabar dijamin masuk surga, Az Zubair bin Awwan? Siapakah sosok Atikah binti Zaid? Mengapa Az Zubair menikahinya? Benarkah ia yang menyebabkan Az Zubair menceraikan ‘Asma? Mengapa seorang yang dijamin masuk surga berani menceraikan putri khalifah pertama, sahabat kepercayaan Rasulullah SAW? Artikel ini mencoba ngengurai kekusutan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
‘Asma binti Abu Bakar adalah shahabiyah yang diberi gelar dzaatun nithaaqain (perempuan pemilik dua selendang) oleh Rasulullah SAW. ‘Asma bertutur “Aku membuat makanan untuk Rasulullah dan ayahku ketika mereka hendak bertolak ke Madinah untuk berhijrah. Aku berkata kepada ayah, ‘aku tidak membawa sesuatu untuk mengikat makanan kecuali selendang pinggangku ini.’ Ayahku berkata, ‘Belahlah selendangmu menjadi dua,’ Aku mengikuti perkataannya, maka aku dijuluki dzaatun nithaaqain” (HR Bukhari).
‘Asma binti Abu bakar memang perempuan pemberani. Tidak salah jika ia ditugasi mengantarkan makanan untuk Rasulullah SAW dalam suasana penuh ancaman kafir Quraisy. Saat ia kecil, ketika ia dan keluarganya masuk Islam, saat keislaman menghadirkan konsekuensi lepasnya nyawa, Asma ditugasi oleh Abu Bakar ra. untuk mengawasi kelangsungan ibadah sahabat-sahabat yang baru masuk Islam. Keceriaannya dan keakrabannya dengan siapapun membuat ayahnya memintanya tetap bermain dan melihat perlakuan kaum kafir terhadap sahabat yang baru masuk Islam. Jika ada sahabat yang terkena diskriminasi, ia harus melaporkannya kepada Abu Bakar.
Az Zubair Bin Awwan adalah sosok sepermainan ‘Asma. Az Zubair dan Thalhah bin Ubaidillah kerap menjadi pengganggu saat ‘Asma bermain bersama Ruqayah binti Muhammad SAW. Walaupun sering mengganggu ternyata dua pemuda tersebut juga menjadi generasi pertama yang memeluk Islam. ‘Asma mengenal Az Zubair dengan segala keberaniannya di medan perang. Tidak ada seorang perempuan pun yang tidak tertarik kepada pendamping setia Rasulullah SAW.
Az Zubair meminang ‘Asma setelah ia melaksanakan hijrah ke Habasiyah. Berberapa hari sebelum Az Zubair berangkat hijrah, ‘Asma memperlihatkan ketertarikannya. Lelaki yang dijuluki Hawari ini pun menyambut ketertarikan ‘Asma dengan jawaban pasti. Beberapa hari setelah pulang dari Habasiyah Abu Bakar bertemu Az Zubair di rumah Rasulullah SAW. Di sana ia menawarkan pernikahan dengan putrinya. Az Zubair menjawab pertanyaan Abu Bakar pada hari yang sama dengan mengunjungi rumahnya. Betapa senangnya hati ‘Asma seketika itu. Az Zubair menerima tawaran ayah ‘Asma. Alasan terbesar Az Zubair menikahi ‘Asma adalah karena ketertarikan ‘Asma kepadanya. Saat peristiwa hijrah ke Madinah, ‘Asma sedang hamil tua dan sebentar lagi akan melahirkan. Abdullah bin Zubair pun lahir dan menjadi bayi pertama yang lahir di Madinah. Kelahirannya menempas kedustaan kaum Yahudi akan kutukan bahwa tidak akan ada bayi yang lahir di Madinah setelah peristiwa hijrah.
‘Asma mendampingi Az Zubair selama 28 tahun. Ia memiliki putra dan putri Abdullah, Urwah, Al Mundzir, Ashim, Al Muhajir, Khadijah Al Kubra, Ummul Hasan, dan Aisyah dalam pernikahannya bersama Lelaki Surga itu.
Dalam pernikahannya, ‘Asma selalu menjaga perasaan suaminya. Ketia ia pulang menempuh jarak 3,4km dari kebun kurma milik suaminya dengan membawa berkilo-kilo kurma, Rasulullah SAW berpapasan dengannya. Ia menawari agar ‘Asma ikut menaiki unta rombongan Rasulullah SAW. Namun, ‘Asma menolak karena ia tahu bahwa suaminya sangat pencemburu. Saat tiba di rumah ia berkata kepada suaminya, “Tadi aku bertemu Rasulullah SAW ketika aku membawa kurma di atas kepalaku. Beliau disertai beberapa orang sahabat. Beliau menyuruh untanya duduk agar aku pergi bersamanya. Aku merasa malu dan teringat sifatmu yang pencemburu.” Az Zubair menanggapinya, “Demi Allah, keadaanmu membawa kurma di atas kepala lebih memberatkan hatiku daripada kau naik unta bersama beliau.
* * *
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya,karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang bergama, (jika tidak) maka celakalah kamu.” (HR. Jamaah kecuali Tirmidzi).
Ia adalah wanita yang sangat cantik. Abdullah bin Abu Bakar, kakak ‘Asma berkata, “Ia adalah wanita yang gerak-geriknya menggerlorakan cinta.” Atikah binti Zaid pertama kali menikah dengan Abdullah bin Abu Bakar. Dengan demikian, Atikah pernah menjadi kakak ipar ‘Asma.
Pada saat menikah dengan Abdullah bin Abu Bakar, Atikah pernah membuat suaminya melupakan perniagaan karena terlalu mencintainya. Oleh sebab itu, Abu Bakar meminta Abdullah menceraikan Atikah. Setelah beberapa saat Abdullah dapat melobi ayahnya dan diizinkan untuk rujuk. Pada sebuah perang, Abdullah bin Abu Bakar syahid di medan jihad. Karena kecintaannya yang besar, ia mewariskan sejumlah harta dan meminta Atikah untuk tidak menikah lagi. Namun, pada saat itu Zaid bin Khatab (salah satu saudara Umar bin Khatab) tertarik kepadanya. Ia teringat dengan ucapan Umar bin Khatab, “Wahai Atikah, janganlah kamu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kepadamu.” Karena perkataan tersebut, setelah masa iddal, Atikah menikah dengan Zaid bin Khatab.
Pada perang Uhud, Zaid bin Khatab syahid. Ia menitipkan istrinya kepada Umar bin Khatab. Oleh sebab itu, Atikah menikah dengan Umar bin Khatab setelah kematian Zaid. Pada saat Umar meminangnya, Atikah meberikan syarat Umar tidak boleh melarangnya shalat ke masjid Nabawi. Umar menyanggupinya walaupun ia kurang setuju karena kecantikan Atikah dapat menimbulkan fitnah yang membahayakan. Suatu hari Abu Musa Al Asy’ari pernah memberi sebuah karpet kepada Atikah. Saat karpet tersebut dibawa ke rumah, Umar marah melihat pemberian tersebut. Ia langsung mendatangi Abu Musa dan bertanya, “Apa alasanmu memberikan barang ini kepada istriku?” Umar mengembalikan karpet tersebut sembari berkata, “kami tidak membutuhkannya.” Kecantikan Atikah membuat suami-suaminya amat menjaganya dan menjadi pencemburu.
Pada 23 Hijriyah Umar bin Khatab syahid karena ditusuk dengan belati oleh Abu Lu’luah, seorang penganut Majusi. Ia melipat kesedihannya dalam sebuah syair:

mata, berikanlah ratapan dan tangisan
Kepada imam yang mulia jangan bosan
Kabar duka, penunggang kuda menyampaikan
Di saat bertugas dan peperangan
Katakan kepada orang-orang susah, matilah!
Karena kematian telah menjemput
Aku tidak bisa tidur, mataku terjaga
oleh isi hati penuh ketakjubab
Hari ini mataku benar-benar terjaga
Aku tangisi Amirul Mukminin dan semuanya
Kepada para pelayan kemanfaatnan dan kelapangan

Keindahan syair itu membuat Az Zubair kagum kepadanya. Kecintaannya terhadap Atikah sangat terlihat dari kekagumannya. Setelah Umar bin Khatab wafat, Atikah dipinang oleh Az Zubair bin Awwam, suami ‘Asma. Az Zubair tetap mengizinkannya untuk shalat ke masjid Nabawi. Namun, ia tetap membuntuti Atikah dari belakang. Tapi tak lama setelah itu, Az Zubair resmi melarang Atikah pergi ke masjid Nabawi dan ia tidak pernah melakukannya lagi. Az Zubair memang pencemburu.

PERHATIAN kepada Atikah seolah menyiratkan pertanyaan di hati ‘Asma, “Az Zubair, kau memberikan padaku segalanya. Menanamkan benih-benih hebat pejuang tauhid. Kau mengokohkanku dengan kisah-kisah pengorbanan tulus dalam setiap desahmu. Kau memberikan segalanya, kecuali cinta yang bergelora. Az Zubair, suamiku, jenis cinta apakah yang kemu miliki untukku?” Kecantikan Atikah membuat Az Zubair harus menjaga istrinya yang satu ini dengan ekstra ketat. Sedangkan ‘Asma yang sejak kecil merupakan perempuan pemberani tentu tidak melahirkan kekhawatiran di hati Az Zubair. Oleh sebab itu, perhatian Az Zubair terhadap ‘Asma tidak sebesar perhatiannya terhadap Atikah. Ketidakseimbangan inilah yang menjadi badai dalam pernikahan ‘Asma dan Az Zubair. Pada suatu siang, sekitar tahun ke 29 Hijriyah, setelah selama 28 tahun Asma mendampinginya, Az Zubair menceraikan ‘Asma. Entah karena alasan spesifik apa. Kecenderungan Az Zubair kepada Atikah yang menjadi alasan terbesar perceraian tersebut.
Pada tahun ke 36 Hijriyah Az Zubair syahid saat Atikah berusia lebih dari 50 tahun. Ia adalah wanita yang diketahui seantero dunia telah meratapi kematian suaminya dengan syair. Pada saat itu tidak pernah disebut-sebut tentang ‘Asma binti Abu Bakar. Yang terkenal pada peristiwa kematian Az Zubair adalah syair yang dibuat oleh Atikah:
Anak Jarmuz mengkhianati pemimpin pasukan
Suatu hari tanpa perlawanan
Hai ‘Amr, jika kau beritahu, dia akan siaga
Tidak akan gemetar jiwa dan tangannya
Berapa banyak kesulitan dilewatinya
Dia tidak akan tercela, wahai orang yang akan disiksa
Demi Allah, kau telah membunuh seorang muslim
Layak engkau dihukum, pembunuh dengan sengaja
* * *
Walaupun pernah bersama adalah ‘Asma, ternyata yang menjadi pendampingnya dikala syahid adalah Atikah. Bahkan pada kematian Az Zubair membuat Atikah terkenal sebagai istri para syuhada. Ia sempat dipinang oleh Ali bin Abi Thalib. Namun, pada saat itu, Atikah mengajukan syarat agar Ali tidak berperang karena takut Ali syahid seperti suami-suaminya yang lain. Karena persyaratan itu, Ali tidak jadi menikahinya. Atikah lalu menikah dengan Hasan bin Ali. Inilah pernikahan terakhirnya. Atikah wafat pada tahun 41 Hijriyah.

Setelah perceraian dengan Az Zubair, sejarah ‘Asma binti Abu Bakar adalah sejarah perjuangannya bersama putra-putranya. Ia tidak pernah menikah lagi. Keputusan ini karena perkataan ayahnya, “Putriku, Sabarlah. jika seorang wanita mempunyai suami yang shaleh dan dia meninggal, lalu wanita itu tidak menikah setelah itu, mereka akan dipersatukan kembali di surga.” Asma meninggal tujuh belas hari setelah Abdullah bin Az Zubair meninggal dunia. Ia wafat pada tahun ke 73 Hijriyah. Adz Dzahabi berkata, “Asma adalah orang terakhir yang meninggal di antara golongan kaum Muhajjirin.
Allah menakdirkannya berusia 100 tahun. Ia tidak pikun, giginya tidak satupun yang tanggal, pikirannya pun tetap kuat dan prima. Begitu pun keimanannya masih tetap teguh dalam ketakwaan.

KESIMPULAN
Terkadang dinikahi oleh orang yang dicintai selalu menghasilkan tanya, “Cintakah kau kepadaku?” Seperti pertanyaan ‘Asma ra. kepada Az Zubair ra. yang jawabannya belum dapat ditemukan dalam literatur manapun. Kecantikan dapat menjadi salah satu hal yang menjadi alasan mengapa perempuan dinikahi tapi ketinggian iman merupakan pilihan yang paling menyelamatkan. Di samping keshalihan dan kecerdasan, ternyata kecantikan merupakan kriteria penting yang membuat lelaki memilih istri, termasuk pada sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Kecemburuan adalah duri dan belenggu dalam pernikahan terutama pada pernikahan poligami. Hal terpenting dari kisah ini, mempertahankan pernikahan lebih sulit daripada meraihnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar