Rabu, 18 Februari 2015

SATRIA PEMBAWA PANJI RASULULOH (SAAD IBN UBADAH)

Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah disebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka Suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka Suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan Baiat Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mukmin sejati.

Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dialami hanya kaum Muslimin penduduk Makkah.

Adalah suatu hal yang wajar jika Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Makkah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditakdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.

Begini ceritanya, setelah selesainya perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan Rasulullah SAW, di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan­kekuatan musyrik dan kesesatan.

Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy, dan mereka segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Makkah. Di Makkah, iring-iringan ini disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan pada Sa'ad sesuka hati mereka.

Bayangkan, Sa’ad bin Ubadah, sang pemimpin Madinah, mendapat perlakuan seperti ini. Ia yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah, telah diikat, dipukuli, dan disiksa. Dan orang-orang yang memukulnya seolah tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!

Sa’ad segera meninggalkan Makkah setelah menerima penganiayaan, hingga diketahuinya dengan pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada hak dan keselamatan. Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw, para sahabat dan Agama Islam secara mati-matian.

Rasulullah saw melakukan hijrah ke Madinah, dan sebelumnya itu para sahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabiat pembawaan, maupun dari turunan.

Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga. Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata, “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw dan bagi seluruh isi rumahnya."

Kata mereka pula, “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang!”

Oleh sebab itu, Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar ditambahi rezki dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata, “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku!”

Wajarlah apabila Rasulullah saw mendoakannya, “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu!”

Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah SAW, pengorbanannya amat penting dan menentukan.

Ibnu Abbas RA berkata, “Di setiap peperangannya, Rasulullah SAW mempunyai dua bendera; bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah."

Pada hari-hari pertama pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mukminin dan dengan blak-blakan berkata kepadanya, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar, lebih kami sukai daripada anda. Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda.”

Dengan tenang Umar menjawab, “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya."

Sa’ad menjawab pula, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda.”

Dengan kata-kata yang diucapkannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab itu, tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampiaskan amarah atau menyatakan kebencian hatinya. Karena orang yang telah menyatakan ridhanya kepada putusan Rasulullah SAW, sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.

Maksud Sa’ad ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mukminin. Pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan disukainya. Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Suriah. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Hauran, ajalnya telah datang menjemputnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar