Selasa, 10 Maret 2015
Jumat, 20 Februari 2015
SAHABAT TAMPAN DIHYA AL KALBI
DIHYAH BIN KHALIFAH AL-KALBI RADHIYALLAHU ANHU, MALAIKAT JIBRIL MENJELMA DALAM RUPANYA
Awwanah bin al-Hakam berkata: "Manusia yang paling tampan rupanya, ialah seseorang yang Malaikat Jibril Alaihissallam datang dalam bentuk rupanya. Yakni Dihya."[1]
Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu adalah salah satu di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lama masuk Islam. Beliau masuk Islam sebelum perang Badar. Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau belum sempat mengikutinya. Baru, setelah peperangan itu, beliau tidak pernah absen dalam jihad di medan peperangan.[2]
Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah yang masyhur. Dia dikaruniani Allah berupa keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya. Di antara keutamaan yang beliau miliki, yaitu Malaikat Jibril Alahissallamseringkali datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya. Imam an-Nasaa`i meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Yahya bin Ya'mur rahimahullah dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
كَانَ جِبْرَائِيْلُ يَأْتِيْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيْ صُوْرَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.
Malaikat Jibril Alaihissallammendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam rupa Dihyah al-Kalbi.
Dalam hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ عُرِضَ عَلَيَّ الْأَنْبِيَاءُ فَإِذَا مُوسَى ضَرْبٌ مِنْ الرِّجَالِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَرَأَيْتُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ وَرَأَيْتُ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا دَحْيَةُ ((مسلم الإسراء برسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ 1/395))
Dari Jâbir Radhiyallahu anhubahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Telah diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa Alaihissallamadalah seorang laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanû'ah. Dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissallam dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat, adalah Urwah bin Mas'ud. Dan aku melihat Ibrâhîm Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri beliau sendiri– dan aku pun melihat Jibril Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah". [HR Muslim].
عن أَبي عُثْمَانَ قَالَ أُنْبِئْتُ أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَعِنْدَهُ أُمُّ سَلَمَةَ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِأُمِّ سَلَمَةَ مَنْ هَذَا أَوْ كَمَا قَالَ قَالَ قَالَتْ هَذَا دِحْيَةُ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ ايْمُ اللَّهِ مَا حَسِبْتُهُ إِلَّا إِيَّاهُ حَتَّى سَمِعْتُ خُطْبَةَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُخْبِرُ جِبْرِيلَ أَوْ كَمَا قَال. ((صحيح البخاري باب علامات النبوة في الإسلام كتاب المناقب 3362))
Dari Abu ‘Utsman, ia berkata: "Telah diberitakan kepadaku bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ummu Salamah sedang bersama beliau. Maka, dia pun berbicara lantas berdiri, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada Ummu Salamah: ‘Siapakah ini?’ – atau seperti ucapan beliau – lantas Ummu Salamah pun berkata: ‘Ini adalah Dihyah’. Ummu Salamah berkata: ‘Demi Allah, sungguh aku mengira, ia adalah Dihyah, sampai aku mendengar khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan bahwa dia adalah Malaikat Jibril Alaihissallam‘.”[3]
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat seruan memeluk Islam kepada para raja, kisra dan kaisar, yaitu pada akhir tahun ke enam hijriah, Dihyah termasuk salah satu delegasi yang ditugaskan. Adapun tugas yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dihyah, yaitu agar ia menyampaikan surat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hiraklius kaisar Romawi.
Dalam satu riwayat disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى قَيْصَرَ يَدْعُوهُ إِلَى الْإِسْلَامِ وَبَعَثَ بِكِتَابِهِ إِلَيْهِ مَعَ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ وَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى لِيَدْفَعَهُ إِلَى قَيْصَرَ ((صحيح البخاري كتاب الجهاد والسير باب دعاء النبي الناس إلى الإسلام))
Dari 'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada kaisar untuk mengajaknya masuk Islam. Beliau pun mengutus Dihyah al-Kalbi untuk menyampaikan suratnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemintanya supaya menyerahkan surat tersebut kepada penguasa kota Bushra, agar ia menyampaikannya kepada kaisar.[4]
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar – dan Dihyah mendapatkan hadiah yang banyak dari kaisar – ketika ia telah sampai di daerah Hisma, ia dihadang oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka.[5]
Demikian, sekilas kisah Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu. Pada masa hidupnya, beliau tinggal di daerah Mizzah di Damaskus, dan beliau hidup hingga sampai masa kekhilafahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Semoga keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa tercurahkan pada sahabat yang mulia ini. (Ustadz Ahmad Danil).
Awwanah bin al-Hakam berkata: "Manusia yang paling tampan rupanya, ialah seseorang yang Malaikat Jibril Alaihissallam datang dalam bentuk rupanya. Yakni Dihya."[1]
Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu adalah salah satu di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lama masuk Islam. Beliau masuk Islam sebelum perang Badar. Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau belum sempat mengikutinya. Baru, setelah peperangan itu, beliau tidak pernah absen dalam jihad di medan peperangan.[2]
Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah yang masyhur. Dia dikaruniani Allah berupa keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya. Di antara keutamaan yang beliau miliki, yaitu Malaikat Jibril Alahissallamseringkali datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya. Imam an-Nasaa`i meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Yahya bin Ya'mur rahimahullah dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
كَانَ جِبْرَائِيْلُ يَأْتِيْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيْ صُوْرَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.
Malaikat Jibril Alaihissallammendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam rupa Dihyah al-Kalbi.
Dalam hadits lain disebutkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ عُرِضَ عَلَيَّ الْأَنْبِيَاءُ فَإِذَا مُوسَى ضَرْبٌ مِنْ الرِّجَالِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَرَأَيْتُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ وَرَأَيْتُ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا دَحْيَةُ ((مسلم الإسراء برسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ 1/395))
Dari Jâbir Radhiyallahu anhubahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Telah diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa Alaihissallamadalah seorang laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanû'ah. Dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissallam dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat, adalah Urwah bin Mas'ud. Dan aku melihat Ibrâhîm Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri beliau sendiri– dan aku pun melihat Jibril Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah". [HR Muslim].
عن أَبي عُثْمَانَ قَالَ أُنْبِئْتُ أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَعِنْدَهُ أُمُّ سَلَمَةَ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِأُمِّ سَلَمَةَ مَنْ هَذَا أَوْ كَمَا قَالَ قَالَ قَالَتْ هَذَا دِحْيَةُ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ ايْمُ اللَّهِ مَا حَسِبْتُهُ إِلَّا إِيَّاهُ حَتَّى سَمِعْتُ خُطْبَةَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُخْبِرُ جِبْرِيلَ أَوْ كَمَا قَال. ((صحيح البخاري باب علامات النبوة في الإسلام كتاب المناقب 3362))
Dari Abu ‘Utsman, ia berkata: "Telah diberitakan kepadaku bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ummu Salamah sedang bersama beliau. Maka, dia pun berbicara lantas berdiri, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada Ummu Salamah: ‘Siapakah ini?’ – atau seperti ucapan beliau – lantas Ummu Salamah pun berkata: ‘Ini adalah Dihyah’. Ummu Salamah berkata: ‘Demi Allah, sungguh aku mengira, ia adalah Dihyah, sampai aku mendengar khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan bahwa dia adalah Malaikat Jibril Alaihissallam‘.”[3]
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat seruan memeluk Islam kepada para raja, kisra dan kaisar, yaitu pada akhir tahun ke enam hijriah, Dihyah termasuk salah satu delegasi yang ditugaskan. Adapun tugas yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dihyah, yaitu agar ia menyampaikan surat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hiraklius kaisar Romawi.
Dalam satu riwayat disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى قَيْصَرَ يَدْعُوهُ إِلَى الْإِسْلَامِ وَبَعَثَ بِكِتَابِهِ إِلَيْهِ مَعَ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ وَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى لِيَدْفَعَهُ إِلَى قَيْصَرَ ((صحيح البخاري كتاب الجهاد والسير باب دعاء النبي الناس إلى الإسلام))
Dari 'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada kaisar untuk mengajaknya masuk Islam. Beliau pun mengutus Dihyah al-Kalbi untuk menyampaikan suratnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemintanya supaya menyerahkan surat tersebut kepada penguasa kota Bushra, agar ia menyampaikannya kepada kaisar.[4]
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar – dan Dihyah mendapatkan hadiah yang banyak dari kaisar – ketika ia telah sampai di daerah Hisma, ia dihadang oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka.[5]
Demikian, sekilas kisah Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu. Pada masa hidupnya, beliau tinggal di daerah Mizzah di Damaskus, dan beliau hidup hingga sampai masa kekhilafahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Semoga keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa tercurahkan pada sahabat yang mulia ini. (Ustadz Ahmad Danil).
Rabu, 18 Februari 2015
SAHABAT MULIA ( AMR BIN ASH )
Ada tiga orang pemuka Quraisy yang sangat
menyusahkan Rasulullah SAW disebabkan sengitnya perlawanan mereka
terhadap dawah beliau dan siksaan mereka terhadap sahabatnya.
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW selalu berdoa dan memohon kepada Allah agar menurunkan azabnya pada mereka. Tiba-tiba, tatkala beliau berdoa dan memohon, turunlah firman Allah: "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim." (QS Ali Imran: 128)
Rasulullah SAW memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan doa permohonan azab dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima azab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya.
Amr bin Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam. Dan Amr bin Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani.
Para ahli sejarah biasa menggelari Amr bin Ash sebagai “Penakluk Mesir”. Namun gelar ini tidaklah tepat, yang paling tepat untuk Amr adalah “Pembebas Mesir”. Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menjajah negeri ini serta rakyatnya dari perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi.
Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar“, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.
Jika demikian halnya, Amr bin Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami.
Amr bin Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Makkah.
Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab.
Raja Habsyi itu menanyakan kepada Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah?
“Benarkah begitu?” tanya Amr kepada Negus.
“Benar,” jawab Negus. “Turutilah petunjukku, hai Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.”
Secepatnya Amr ia mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Makkah dengan maksud hendak baiat kepada Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu berkata kepada para sahabat, “Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”
Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat baiaat. Kemudian majulah Amr dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan baiat kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.”
Maka Rasulullah menjawab, “Hai Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.”
Tatkala Rasulullah SAW wafat, Amr bin Ash sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan-peperangan di Suriah, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Amr tidak hanya seorang panglima perang tangguh sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lain. Ia tidak hanya seorang diplomat ulung sebagaimana Muawiyah. Tapi juga seorang negarawan yang pintar memerintah. Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa. Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu berkata, “Tidak pantas bagi Abu Abdillah untuk berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir.”
Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menyebabkan Umar bin Al-Khathab—seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya—menetapkannya sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hayatnya Al-Faruq.
Amr bin Ash adalah seorang yang berpikiran tajam, cepat tanggap dan berpandangan jauh ke depan. Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan berkemauan keras dan cerdik.
Pada tahun ke-43 Hijriyah, Amr bin Ash wafat di Mesir ketika menjadi gubernur di sana. Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya. “Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka. Kemudian aku membaiat kepada Rasulullah SAW, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau. Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku. Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga. Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitu pun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, seraya berdoa, “Ya Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan. Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan. Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku.”
Oleh sebab itu, Rasulullah SAW selalu berdoa dan memohon kepada Allah agar menurunkan azabnya pada mereka. Tiba-tiba, tatkala beliau berdoa dan memohon, turunlah firman Allah: "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim." (QS Ali Imran: 128)
Rasulullah SAW memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan doa permohonan azab dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima azab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya.
Amr bin Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam. Dan Amr bin Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani.
Para ahli sejarah biasa menggelari Amr bin Ash sebagai “Penakluk Mesir”. Namun gelar ini tidaklah tepat, yang paling tepat untuk Amr adalah “Pembebas Mesir”. Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menjajah negeri ini serta rakyatnya dari perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi.
Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar“, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.
Jika demikian halnya, Amr bin Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami.
Amr bin Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Makkah.
Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab.
Raja Habsyi itu menanyakan kepada Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah?
“Benarkah begitu?” tanya Amr kepada Negus.
“Benar,” jawab Negus. “Turutilah petunjukku, hai Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.”
Secepatnya Amr ia mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Makkah dengan maksud hendak baiat kepada Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu berkata kepada para sahabat, “Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”
Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat baiaat. Kemudian majulah Amr dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan baiat kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.”
Maka Rasulullah menjawab, “Hai Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.”
Tatkala Rasulullah SAW wafat, Amr bin Ash sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan-peperangan di Suriah, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Amr tidak hanya seorang panglima perang tangguh sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lain. Ia tidak hanya seorang diplomat ulung sebagaimana Muawiyah. Tapi juga seorang negarawan yang pintar memerintah. Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa. Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu berkata, “Tidak pantas bagi Abu Abdillah untuk berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir.”
Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menyebabkan Umar bin Al-Khathab—seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya—menetapkannya sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hayatnya Al-Faruq.
Amr bin Ash adalah seorang yang berpikiran tajam, cepat tanggap dan berpandangan jauh ke depan. Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan berkemauan keras dan cerdik.
Pada tahun ke-43 Hijriyah, Amr bin Ash wafat di Mesir ketika menjadi gubernur di sana. Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya. “Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka. Kemudian aku membaiat kepada Rasulullah SAW, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau. Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku. Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga. Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitu pun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”
Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, seraya berdoa, “Ya Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan. Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan. Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku.”
AHLAK MULIA RASULLULOH SAW
Ada
empat sikap yang menjadi kunci kemuliaan yaitu santun, rendah hati,
berakhlaq mulia dan dermawan. Rasulullah SAW telah memberikan kita
teladan dalam berbagai hadis, salah satunya sikapnya yang santun dan
lembut.
Diriwayatkan Abu Hurairah, “Suatu hari seorang Arab Badui buang air kecil di sudut masjid. Para sahabat kemudian berdiri untuk memukulinya. Namun Rasulullah SAW memerintahkan, ”Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau segayung air. Sesungguhnya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat kesukaran.” (HR Bukhari).
Andai saja kejadian itu menimpa kita sekarang, tentu tidak akan jauh beda dengan sikap para sahabat. Namun Rasulullah SAW mengajarkan kesantunan dan kelembutan menjadi sikap utama. Orang yang berani mengotori mesjid tidak disikapi dengan keras. Justru dengan penuh kelembutan dan kesantunan, beliau memerintahkan sekadar membersihkan bekas kencingnya.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan pentingnya sikap arif dalam menyelesaikan suatu perkara dalam kerangka kebaikan bersama. Karena boleh jadi, si lelaki Arab Badui itu berbuat begitu karena kebodohannya. Perilaku bodoh jangan dibalas dengan sikap bodoh pula.
Selain itu memang kita diajarkan untuk berkepribadian santun pada siapapun. Seorang pelayan beliau, Anas berkata, ”Aku membantu Nabi SAW di Madinah selama sepuluh tahun. Aku hanyalah seorang anak kecil, tidak semua pelayanan yang aku berikan sesuai hati. Namun beliau tidak pernah sekalipun mengatakan kepadaku,” Hei!” Beliau tidak pernah mengatakan, ”Kenapa kamu lakukan ini? Atau Kenapa tidak kamu lakukan begitu?” (HR Bukhari dan Muslim).
Telah menjadi karakter Rasulullah SAW bersikap lembut, sabar dan penuh kesantunan terhadap siapapun dalam keseharian. Bukan hanya urusan pribadi, bahkan ketika berdakwah pun beliau menunjukan sikap yang lembut dan santun.
Diriwayatkan Aisyah ra, ia bertanya kepada Rasul SAW, ”Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih berat daripada peperangan Uhud?” Beliau menjawab, ”Aku mengalami berbagai peristiwa dari kaumku, yang paling berat kurasakan adalah pada hari Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah kepada Abdu Yalail bin Abdi Kalâl, namun ia tidak merespon keinginanku. Aku kembali dengan wajah kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts Tsa’alib, sebuah gunung di kota Makah. Aku tengadahkan wajahku. Ku lihat segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan seksama, ternyata Malaikat Jibril ada di sana. Lalu ia menyeruku:” Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata: ”Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Allah telah mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki, jika kamu kehendaki agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!”
Beliau menjawab: ”Tidak justru aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (HR Bukhari Muslim).
Perilaku lembut dan santun yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan prinsip utama bagi siapapun yang mengaku mukmin dan berharap memperoleh keridlaan Allah. Sikap terpuji beliau yang tak pernah membentak ketika menyikapi seseorang adalah akhlak utama yang wajib diteladani. Perilaku lemah lembut dan santun merupakan jalan pembuka kebaikan-kebaikan.
Kemuliaan tidak datang dari pangkat, jabatan dan harta. Pangkat dan jabatan mengenal pensiun, sementara harta akan habis. Kemuliaan akan datang dengan sendirinya, secara otomatis, berdasarkan penilaian orang lain kepada kita atas semua kebaikan yang dilakukan. Bersikaplah santun, dermawan, rendah hati dan berakhlaq mulia kepada sesama tanpa kecuali. Wallâhu‘alam
Diriwayatkan Abu Hurairah, “Suatu hari seorang Arab Badui buang air kecil di sudut masjid. Para sahabat kemudian berdiri untuk memukulinya. Namun Rasulullah SAW memerintahkan, ”Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan seember atau segayung air. Sesungguhnya kamu ditampilkan ke tengah-tengah umat manusia untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat kesukaran.” (HR Bukhari).
Andai saja kejadian itu menimpa kita sekarang, tentu tidak akan jauh beda dengan sikap para sahabat. Namun Rasulullah SAW mengajarkan kesantunan dan kelembutan menjadi sikap utama. Orang yang berani mengotori mesjid tidak disikapi dengan keras. Justru dengan penuh kelembutan dan kesantunan, beliau memerintahkan sekadar membersihkan bekas kencingnya.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan pentingnya sikap arif dalam menyelesaikan suatu perkara dalam kerangka kebaikan bersama. Karena boleh jadi, si lelaki Arab Badui itu berbuat begitu karena kebodohannya. Perilaku bodoh jangan dibalas dengan sikap bodoh pula.
Selain itu memang kita diajarkan untuk berkepribadian santun pada siapapun. Seorang pelayan beliau, Anas berkata, ”Aku membantu Nabi SAW di Madinah selama sepuluh tahun. Aku hanyalah seorang anak kecil, tidak semua pelayanan yang aku berikan sesuai hati. Namun beliau tidak pernah sekalipun mengatakan kepadaku,” Hei!” Beliau tidak pernah mengatakan, ”Kenapa kamu lakukan ini? Atau Kenapa tidak kamu lakukan begitu?” (HR Bukhari dan Muslim).
Telah menjadi karakter Rasulullah SAW bersikap lembut, sabar dan penuh kesantunan terhadap siapapun dalam keseharian. Bukan hanya urusan pribadi, bahkan ketika berdakwah pun beliau menunjukan sikap yang lembut dan santun.
Diriwayatkan Aisyah ra, ia bertanya kepada Rasul SAW, ”Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih berat daripada peperangan Uhud?” Beliau menjawab, ”Aku mengalami berbagai peristiwa dari kaumku, yang paling berat kurasakan adalah pada hari Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah kepada Abdu Yalail bin Abdi Kalâl, namun ia tidak merespon keinginanku. Aku kembali dengan wajah kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di Qornuts Tsa’alib, sebuah gunung di kota Makah. Aku tengadahkan wajahku. Ku lihat segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan seksama, ternyata Malaikat Jibril ada di sana. Lalu ia menyeruku:” Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata: ”Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Allah telah mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki, jika kamu kehendaki agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!”
Beliau menjawab: ”Tidak justru aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (HR Bukhari Muslim).
Perilaku lembut dan santun yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan prinsip utama bagi siapapun yang mengaku mukmin dan berharap memperoleh keridlaan Allah. Sikap terpuji beliau yang tak pernah membentak ketika menyikapi seseorang adalah akhlak utama yang wajib diteladani. Perilaku lemah lembut dan santun merupakan jalan pembuka kebaikan-kebaikan.
Kemuliaan tidak datang dari pangkat, jabatan dan harta. Pangkat dan jabatan mengenal pensiun, sementara harta akan habis. Kemuliaan akan datang dengan sendirinya, secara otomatis, berdasarkan penilaian orang lain kepada kita atas semua kebaikan yang dilakukan. Bersikaplah santun, dermawan, rendah hati dan berakhlaq mulia kepada sesama tanpa kecuali. Wallâhu‘alam
Langganan:
Postingan (Atom)