Sabtu, 31 Mei 2014

SALMAN AL FARISI

Salman al-Farisi dikenal sebagai Imam, Pewaris Islam, Hakim Bijaksana,Dia memutuskan cepat dalam menghadapi kesulitan ekstrim dan kesulitan untuk membawa Terang Lampu dan untuk menyebarkan rahasia hati untuk mengangkat orang dari kegelapan kepada cahaya. Dia adalah seorang sahabat mulia Nabi.

Ia berasal dari keluarga Zoroastrian yang dihormati dari sebuah kota dekat Ispahan. Suatu hari ketika melewati sebuah gereja, ia tertarik oleh suara laki-laki berdoa. Ditarik oleh ibadah mereka, ia memberanikan diri dan menemukan lebih baik daripada agama asuhan nya. Pada belajar bahwa agama itu berasal di Syria, ia meninggalkan rumah, bertentangan dengan keinginan ayahnya, pergi ke Suriah dan terkait dirinya dengan suksesi anchorites Kristen. Dia datang untuk mengetahui dari mereka kedatangan Nabi terakhir dan tanda-tanda yang menyertai kemunculannya. Dia kemudian pergi ke Hijaz di mana dia ditangkap, dijual sebagai budak, dan dibawa ke Madinah, di mana ia akhirnya bertemu Nabi. Ketika ia menemukan di Nabi pemenuhan semua tanda-tanda yang dia telah diberitahu oleh guru Kristen, ia menegaskan pemberian kesaksian iman - Shahada. Penghambaan dicegah Salman dari berada di pertempuran Badar dan Uhud. Rasul membantunya mendapatkan dibebaskan dari perbudakan dengan menanam dengan tangannya sendiri tiga ratus pohon palem dan memberinya sepotong besar emas. Setelah orang bebas ia mengambil bagian dalam setiap pertempuran berikutnya dengan Nabi.


"` Asim ibn 'Umar bin Qatada mengatakan bahwa dia diberitahu bahwa Salman dari Persia mengatakan kepada Nabi bahwa tuannya dalam' Ammuriya menyuruhnya pergi ke suatu tempat tertentu di Syria di mana ada seorang pria yang hidup antara dua semak. Setiap tahun sebagai ia digunakan untuk pergi dari satu ke yang lain, yang sakit yang digunakan untuk berdiri di jalan dan semua orang yang berdoa untuk disembuhkan Dia berkata, 'Tanyakan kepadanya tentang hal ini agama yang Anda cari, karena ia dapat memberitahu Anda tentang hal itu. ". Jadi aku terus sampai aku datang ke tempat saya telah diberitahu tentang, dan saya menemukan bahwa orang telah berkumpul di sana dengan sakit mereka sampai ia keluar kepada mereka malam itu lewat dari satu rumpun ke yang lainnya. Orang-orang datang kepadanya dengan mereka sakit dan semua orang yang berdoa untuk disembuhkan Mereka menghalangi saya untuk mendapatkan kepadanya sehingga aku tidak dapat mendekatinya sampai ia masuk ke semak-semak ia membuat untuk,. tapi aku memegang bahunya Dia bertanya. saya yang saya adalah sebagai ia berbalik kepada saya dan saya berkata, "telah Allah mengasihani engkau, katakan padaku tentang Hanifiya, agama Ibrahim." Dia menjawab, 'Anda bertanya tentang laki-laki tidak menanyakan sesuatu hari ini, waktunya sudah dekat ketika nabi akan dikirim dengan agama ini dari orang-orang haram Go kepadanya, karena ia akan membawa Anda ke sana.. " Lalu ia pergi ke semak. Nabi berkata kepada Salman, 'Jika Anda telah mengatakan kepada saya kebenaran, Anda bertemu dengan Isa putra Maryam. "


Dalam salah satu pertempuran Nabi yang disebut al-Ahzab atau Khandaq Salman al-Nabi menyarankan untuk menggali parit sekitar Madinah pada pertahanan kota, sebuah saran yang diterima dengan senang hati Nabi. Dia kemudian pergi ke depan dan membantu menggali dengan tangannya sendiri. Selama penggalian ini, Salman melanda pada sebuah batu yang dia tidak bisa istirahat. Nabi mengambil kapak dan memukulnya. Serangan pertama melahirkan percikan. Ia kemudian memukulnya untuk kedua kalinya dan melahirkan kedua percikan. Dia kemudian memukul untuk ketiga kalinya dan melahirkan sepertiga percikan. Dia kemudian bertanya Salman, "Wahai Salman, apakah anda melihat bunga api?" Salman menjawab, "Ya, Hai Nabi, memang saya lakukan." Nabi berkata, "Yang pertama spark memberi saya sebuah visi di mana Allah telah membuka Yaman bagiku. Dengan percikan kedua, Allah membuka Syam dan al-Maghribi (Barat) Dan dengan yang ketiga., Allah membuka bagi saya Timur . "


Salman melaporkan bahwa Nabi berkata: "Tidak ada tapi doa averts dekrit, dan hanya kebenaran hidup meningkat," dan "Tuhanmu adalah murah hati dan murah hati, dan malu untuk berpaling mengosongkan tangan seorang hamba ketika ia mengangkat mereka kepadanya


At-Tabari menceritakan bahwa pada tahun 16 AH tentara Islam berpaling ke depan Persia. Dalam rangka menghadapi raja Persia pada satu titik tentara Muslim menemukan dirinya di tepi seberang Sungai Tigris yang besar. Komandan tentara, Sa `d Ibn Abi Waqqas, mengikuti mimpi, memerintahkan seluruh tentara untuk terjun ke sungai yang deras. Banyak orang takut dan menutup kembali. Sa `d, dengan Salman di sisinya, berdoa pertama:" Semoga Allah memberikan kita kemenangan dan mengalahkan musuh-Nya. " Kemudian Salman berdoa:.. "Islam menghasilkan nasib baik Demi Allah, menyeberangi sungai telah menjadi sebagai mudah bagi para Muslim yang melintasi gurun Dengan Dia yang di tangan terletak jiwa Salman, mungkin para prajurit keluar dari air dalam jumlah yang sama di mana mereka masuk itu. " Sa `d dan Salman kemudian terjun ke sungai Tigris. Hal ini melaporkan bahwa sungai tersebut telah ditutupi dengan kuda dan laki-laki. Para berenang kuda dan ketika mereka lelah lantai sungai tampak naik dan mendukung mereka sampai mereka kembali napas. Untuk beberapa tampaknya mudah naik kuda-kuda pada gelombang. Mereka muncul di bank lain, seperti Salman telah berdoa, setelah kehilangan apa-apa dari peralatan mereka tetapi satu cangkir timah, dan tak seorang pun yang tenggelam.


Mereka pergi untuk mengambil ibukota Persia. Salman bertindak sebagai juru bicara dan mengatakan kepada Persia ditaklukkan:. "Saya memiliki asal yang sama seperti Anda saya akan berbelas kasih terhadap Anda Anda memiliki tiga pilihan Anda dapat memeluk Islam, maka Anda akan saudara-saudara kami dan Anda akan memiliki hak yang sama.. dan kewajiban seperti yang kita Atau Anda. dapat membayar pajak Jizyah dan kami akan mengatur Anda cukup. Atau kita akan menyatakan perang pada Anda. " Persia, setelah menyaksikan ajaib persimpangan tentara Muslim, menerima alternatif kedua.


Salman Al-Persia akhirnya ditunjuk gubernur wilayah itu. Dia adalah komandan 30.000 tentara Muslim. Namun, dia sangat rendah hati. Ia hidup dari kerja manual sendiri. Dia tidak memiliki rumah, tetapi beristirahat di bawah bayangan pohon. Dia biasa mengatakan bahwa ia terkejut melihat begitu banyak orang menghabiskan hidup mereka untuk dunia yang lebih rendah, tanpa berpikir untuk kematian yang tak terelakkan yang akan mengambil mereka dari hari satu dunia.


Salman adalah orang yang sangat ketat dan adil. Di antara beberapa barang rampasan yang dibagikan satu hari adalah kain dari mana pendamping masing-masing memiliki sepotong potong pakaian. Suatu hari 'Umar bangkit untuk berbicara dan berkata: ". Suara Turunkan Anda sehingga aku dapat mendengar Anda" Dia memakai dua potong kain itu. Salman berkata, "Demi Allah, kita tidak akan mendengar Anda, karena Anda lebih suka diri kepada orang-orang Anda." "Bagaimana itu?" tanya Umar. Dia berkata: "Anda memakai dua potong kain dan semua orang memakai hanya satu." Umar berteriak: "O Abdullah!" Tidak ada yang menjawab dia. Ia berkata lagi, "Wahai Abdullah bin Umar!" Abdullah, anaknya berteriak: "Siap melayani Anda!" Umar berkata, "Aku bertanya kepadamu oleh Tuhan, jangan Anda mengatakan bahwa potongan kedua adalah milikmu?" Abdullah mengatakan "Ya." Salman berkata: "Sekarang kita akan mendengar Anda."


Pada malam hari Salman akan mulai berdoa. Jika ia merasa lelah, dia akan mulai membuat dhikr dengan lidah. Ketika lidahnya akan mendapatkan lelah, dia akan merenung dan merenungkan kekuasaan Allah dan kebesaran dalam penciptaan. Dia kemudian akan berkata pada dirinya sendiri, "Wahai ego saya, Anda mengambil istirahat Anda, sekarang bangun dan berdoa." Lalu ia akan membuat dhikr lagi, lalu bermeditasi, dan sebagainya sepanjang malam.


Bukhai berkaitan dua hadis yang menunjukkan pertimbangan Nabi untuk Salman:


Abu Huraira menceritakan: Ketika kami duduk dengan Nabi saw, surat al-Jumu `a telah diwahyukan kepadanya. Ketika Nabi membacakan ayat, "Dan Dia (Allah) telah mengirim dia (Muhammad) juga kepada orang lain (dari Arab )..." [62:3] Aku berkata, "Siapa mereka, O Rasul Allah?" Nabi tidak menjawab sampai aku mengulang tiga kali pertanyaan saya. Pada saat itu Salman al-Farisi sedang bersama kami. Rasul Allah meletakkan tangannya pada Salman, berkata: "Jika iman berada di ath-Thurayya (Pleiades, bintang sangat jauh), bahkan saat itu beberapa orang dari orang-orang (yaitu rakyat Salman) akan mencapai itu."


Abu Juhayfa berkaitan: Nabi membuat ikatan persaudaraan antara Salman dan Abu ad-Darda al-Anshari. Salman berkunjung ke Abu ad-Darda 'dan menemukan Um ad-Darda' (istrinya) mengenakan baju yang lusuh. Dia bertanya mengapa ia dalam keadaan itu. Dia berkata, "Adikmu Abu ad-Darda 'tidak tertarik pada kemewahan dunia ini." Sementara itu Abu ad-Darda 'datang dan menyiapkan makanan untuk Salman. Salman meminta Abu ad-Darda 'untuk makan dengan dia, tapi Abu ad-Darda' berkata, "Aku puasa." Salman berkata, "Aku tidak akan makan kecuali Anda makan." Jadi Abu ad-Darda 'makan dengan Salman. Ketika malam dan sebagian malam telah berlalu, Abu ad-Darda 'bangun tidur (untuk menawarkan doa malam), tapi Salman menyuruhnya untuk tidur dan Abu ad-Darda tidur. Setelah beberapa waktu Abu ad-Darda 'lagi bangun tapi Salman menyuruhnya untuk tidur. Ketika itu adalah jam terakhir malam, Salman menyuruhnya untuk bangun itu, dan keduanya mengucapkan doa itu. Salman mengatakan Abu ad-Darda ', "Tuhanmu memiliki hak atas Anda, jiwa Anda memiliki hak pada Anda, dan keluarga Anda memiliki hak pada Anda Abu ad-Darda.' Datang kepada Nabi dan menceritakan keseluruhan cerita. The Nabi berkata, "Salman telah berbicara kebenaran."


Dia meninggal pada 33 H pada masa pemerintahan 'Utsman. Ia melewati Secret nya ke cucu Abu Bakar, Imam Abu `Abdur Rahman Qassim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Siddiq

NABI PALSU AL ASWAD AL ANSI


Allah subhanahu wata'ala berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا


Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
(QS. Al-Ahzab: 40).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي .

“Sesungguhnya akan ada tiga puluh orang pendusta di tengah umatku. Mereka semua mengaku nabi. Padahal, aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.”
Takhrij

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud (3710), At-Tirmidzi (2145), Ibnu Majah (3942), Ahmad (21361), Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwwah (2901), Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ (249), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (8509), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (7361), dan Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin (2623); dari Tsauban bin Bujdud radhiyallahu 'anh. At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.” Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun mereka berdua tidak mengeluarkannya.” Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Misykat Al-Mashabih (5406), Shahih Sunan Abi Dawud (4252), Shahih Sunan At-Tirmidzi (2219), dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (2654). Dengan matan sedikit berbeda, hadits tentang akan munculnya nabi palsu juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3340), Muslim (7526), At-Tirmidzi (2144), Ahmad (6930), dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (199); dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anh.

Rahasia “Penutup Para Nabi”

Fakta akan munculnya nabi-nabi palsu, jauh-jauh hari sudah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Demikianlah yang tersirat dari sabda beliau, “Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.” Dan, demikian pula yang difirmankan Allah subhanahu wata'ala, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (Al-Ahzab: 40)


Kata “penutup para nabi,” menyiratkan makna bahwa akan muncul nabi-nabi palsu, baik itu pada masa hidup Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam maupun pasca beliau wafat. Fakta pun berbicara di kemudian hari, dimana sabda Nabi ini menemukan buktinya. Dan, kebenaran sabda ini tentu saja adalah sebagian dari mukjizat beliau.


Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Secara tekstual hadits ini menyebutkan bahwa tiga puluh orang tersebut semuanya mengaku nabi. Inilah dia rahasia sabda Nabi pada akhir hadits sebelumnya, ‘Dan sesungguhnya aku adalah penutup para nabi.’ Hal ini juga bisa berarti bahwa yang mengaku sebagai nabi di antara mereka hanya tiga puluh orang, sementara selebihnya adalah para pendusta saja namun mereka menyeru kepada kesesatan.”

Nabi Palsu Pada Masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin

Pada masa Nabi, muncul Nabi palsu di Yaman bernama Abhalah bin Ka’ab bin Ghauts Al-Kadzdzab, atau yang lebih dikenal sebagai Al-Aswad Al-Ansi. Al-Aswad pernah mengirim surat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “Hai orang-orang yang membangkang kepada kami, kembalikanlah tanah kami yang telah kalian rampas. Berikan kepada kami apa yang telah kalian kumpulkan, karena kami lebih berhak memilikinya. Adapun kalian, cukuplah kalian dengan apa yang kalian miliki.”


Al-Aswad mati dibunuh oleh istrinya, Idzan, yang bekerja sama dengan pasukan kaum muslimin dalam strategi yang jitu. Berita matinya Al-Aswad sampai ke Madinah pada pagi hari wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa kabar tersebut sampai Madinah ketika Khalifah Abu Bakar baru saja selesai mempersiapkan pasukan Usamah.


Di Yamamah, juga muncul nabi palsu bernama Musailimah bin Tsumamah bin Habib Al-Kadzdzab. Musailimah (bukan Musailamah) pernah datang kepada Nabi bersama rombongannya dari Bani Hanifah. Dia berkata, “Jika Muhammad menyerahkan perkara ini kepadaku setelah dia meninggal, aku akan mengikutinya.”


Mendengar apa yang dikatakan Musailimah, Nabi bersabda, “(Jangankan kenabian), kamu minta tongkat ini dariku saja tidak akan aku berikan. Sungguh, jika kamu pergi, niscaya Allah akan menyembelihmu. Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku apa yang akan terjadi padamu.”


Nabi benar. Musailimah mati oleh Wahsyi bin Harb. Dia lempar Musailimah dengan tombak, Musailimah mati pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.


Masih pada masa Nabi, dari Bani Asad muncul nabi palsu bernama Thulaihah bin Khuwailid bin Naufal. Pada tahun sembilan Hijrah, dia datang bersama kaumnya kepada Nabi dan menyatakan keislamannya. Ketika Nabi sakit keras, dia memproklamirkan dirinya sebagai nabi. Dia ingin menggantikan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sepeninggal beliau.


Thulaihah dan pasukannya pernah beberapa kali bertempur dengan kaum muslimin dan selalu kalah. Bersama istrinya, dia kabur ke Syam (sekarang Suriah). Dia mendapatkan hidayah dan kembali ke pangkuan Islam. Thulaihah mati syahid dalam Perang Nahawand tahun 21 H.


Ada juga nabi palsu bergender perempuan. Sajah binti Al-Harits bin Suwaid namanya. Dia berasal dari Bani Tamim. Dia memproklamirkan kenabiannya setelah Nabi wafat dan ketika kaum muslimin sedang sibuk memerangi kaum murtaddin. Sajah tidak pernah terlibat peperangan langsung dengan kaum muslimin. Justru dia ‘bersaing’ dengan sesama nabi palsu, yakni Musailimah, yang sempat memperistrinya selama tiga hari. Dia tinggal di tengah-tengah kaumnya hingga masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan, sebelum akhirnya dia diusir oleh Muawiyah.

Nabi Palsu Pasca Khulafaur Rasyidin

Dalam ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Imam Abu Ath-Thayyib Abadi menyebutkan sebuah atsar dari Ibnu Abi Hatim dari Abu Zumail; Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anh, “Hai Ibnu Abbas, sesungguhnya Al-Mukhtar bin Abi Ubaid mengaku bahwa tadi malam dia mendapatkan wahyu.” Ibnu Abbas berkata, “Dia benar.” Abu Zumail yang saat itu berada di dekat Ibnu Abbas langsung tersentak. Dia bangun dan berkata, “Ibnu Abbas mengatakan Al-Mukhtar benar telah mendapatkan wahyu?”


Kata Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu itu ada dua macam; wahyu dari Allah dan wahyu dari setan. Wahyu Allah diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan wahyu setan diturunkan kepada kawan-kawannya.” Lalu, Ibnu Abbas pun membaca ayat, “Sesungguhnya setan itu memberikan wahyu kepada kawan-kawannya untuk membantah kalian.” (QS. Al-An’am: 121)


Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi, juga ada nabi palsu bernama Al-Harits bin Said Al-Kadzdzab. Dulunya, ia adalah seorang zuhud yang ahli ibadah. Namun sayang, ia tergelincir dari jalan Allah dan mengikuti jalan setan. Ia didatangi iblis dan diberi ‘wahyu.’ Ia bisa membuat keajaiban2 laksana mukjizat seorang nabi. Saat musim panas, ia datangkan buah-buahan yang hanya ada pada musim dingin. Dan ketika musim dingin, ia datangkan buah-buahan musim panas. Sehingga, banyak orang yang terpesona dan mengikuti kesesatannya.


Al-Harits ditangkap oleh Khalifah Abdul Malik. Ia disuruh bertaubat dan diberi kesempatan untuk bertaubat. Sejumlah ulama didatangkan untuk menyadarkannya. Tapi ia enggan. Ia tetap dalam kesesatannya. Akhirnya, Abdul Malik pun menjatuhkan hukuman mati padanya. Al-Ala` bin Ziyad berkata, “Aku tidak iri sedikit pun pada kekuasaan Abdul Malik. Tapi aku iri dengan vonis matinya terhadap Al-Harits. Sebab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum muncul tiga puluh orang dajjal pendusta yang semuanya mengaku nabi. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengaku nabi, maka bunuhlah ia. Dan barangsiapa yang membunuh salah seorang dari mereka, maka ia akan masuk surga’.” (HR. Ibnu Asakir)


إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ


Artinya: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (QS. Ali Imran: 19).


sumber: hidayatullah.com

Tambahan: Ringkasan beberapa nabi palsu yang sempat tercatat sejarah
  1. Abhalah bin Ka'ab bin Ghauts Al Kadzdzab alias Al Aswadi Al Ansi. Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berasal dari Yaman dan dia berhasil dibunuh oleh istrinya sendiri yang bekerjasama dengan kaum muslimin.
  2. Thulaihah bin Khuwailid bin Naufal. Pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Berasal dari Bani Asad. Dia bersama istrinya kabur ke Syam, hingga dia akhirnya kembali ke pangkuan Islam.
  3. Musailamah bin Tsumamah bin Habib Al Kadzdzab. Berasal dari Yamamah. Dia mati sesudah dilempar tombak oleh Musilamah bin Harb pada kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
  4. Sajah binti Al Harits bin Suwaid. Pada Masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Seorang perempuan yang berasal dari Bani Tamim. Dia diusir oleh sang khalifah.
  5. Al Mukhtar bin Abi Ubaid. Berasal dari Thaif, penganut Syiah yang mengaku nabi. Dia adalah saudara ipar Abdullah bin Umar bin Khattab. Mati dibunuh oleh Mush'ab bin Az-Zubair.
  6. Mirza Ali Mohammad. Pada abad 19. Pendiri agama Babisme. Dihukum mati oleh pemerintah Iran pada 1843.
  7. Mirza Husein Ali. Pendiri agama Bahaisme, penganut syiah. Mati pada tahun 1892. Dilanjutkan oleh anknya yang bernama Abbas Efendy yang bermarkas di Chicago, USA.
  8. Mirza Ghulam Ahmad. Berasal dari India. Mati terkena penyakit kolera. Pendiri agama Ahmadiyah, tapi kitabnya bukan Al Qur'an melainkan Tadzkirah.
  9. Rashad Khalifa. Dari Mesir 1835-1908. Mati dicincang oleh pengikutnya sendiri dengan pisau dapur.
  10. Asy Syaikhah Manal Wahid Manna. Seorang wanita mengaku nabi. Dipenjari oleh pemerintahan Mesir.
  11. Tsurayya Manqus. Seorang wanita dari Yaman. Mati dibunuh oleh pengikutnya sendiri dan disalib.
  12. Muhammad Abdur Razak Abul 'Ala. Dari sudan. 
Dialog Nabi Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam) dengan nabi palsu

Ibnu 'Abbas bercerita: "Musailamah Al Kadzdzaab (Si Pendusta) mengunjungi (Madinah) pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hidup dan dia berkata; "Seandainya Muhammad menyerahkan urusan ini (maksudnnya kekuasaan) kepadaku sepeninggalnya maka aku akan mengikutinya". Lalu dia menda'wahkan hal ini kepada orang banyak dari kaumnya. Kemudian Rasulullah beserta Tsabir bin Qais bin Syammas menemuinya sementara di tangan Rasulullah ada selembar daun, lalu beliau berhadapan dengan Musailamah dan teman-temannya seraya berkata: "Seandainya kamu meminta selembar pelepah kurma ini, aku pasti tidak akan memberinya kepadamu dan sekali-kali urusan Allah tidak akan diserahkan kepadamu. Dan jika kamu berpaling (menolak kebenaran) pasti Allah akan membinasakannmu. Sungguh aku melihat kamu sebagaimana aku melihatnya dalam mimpiku tentang kamu". Kemudian Abu Hurairah mengabarkan kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ketika aku sedang tidur aku melihat di tanganku ada dua gelang terbuat dari emas dan kebagusan barang tersebut menggiurkan aku lalu aku diberi wahyu dalam tidurku, agar aku meniupnya. Aku pun meniupnya hingga keduanya terbang (lenyap). Maka aku menta'wikan mimpiku itu sebagai dua orang pendusta (yang mengaku sebagai nabi) yang akan timbul sepeninggalku. Yang pertama adalah Al 'Ansiy dan yang lainnya adalah Musailamah Al Kadzdzaab, seorang penduduk Yamamah". [HR. Bukhari

SEJARAH ISLAMNYA ABU SUFYAN

Abbas bin Abdul Muthalib—paman Rasulullah—meninggalkan kaumnya yang tengah berdebat itu. Ia dan keluarganya berangkat menemui Rasulullah di Juhfa. Kemungkinan ada orang-orang dari Bani Hasyim yang telah menerima berita atau kabar tentang kebenaran Rasulullah. Hingga mereka bermaksud menggabungkan diri tanpa akan mendapat gangguan.

Disamping Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muthalib, sepupu Nabi, dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah,   anak bibinya. Mereka menggabungkan diri dengan pasukan Muslimin di Niq Al-Uqab. Mereka berdua minta izin untuk menemui Nabi, tapi Rasulullah menolak.
 
"Aku tidak ada keperluan dengan mereka," kata Rasulullah kepada Ummu Salamah, istrinya, ketika ia mencoba membicarakan masalah dua orang itu. "Aku sudah banyak menderita karena anak pamanku itu. Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah mengatakan yang bukan-bukan ketika ia di Makkah."
 
Keterangan ini disampaikan kepada Abu Sufyan. "Demi Allah," ujarnya, "Bagiku hanyalah aku ingin diizinkan bertemu. Atau dengan bantuan anakku ini, kami akan pergi ke mana saja, sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
 
Rasulullah merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun diizinkan masuk menemui beliau, dan mereka menyatakan masuk Islam.

Menyaksikan pasukan Muslimin serta kekuatannya yang demikian rupa, Abbas bin Abdul Muthalib merasa cemas dan sangat terkejut. Sekalipun ia sudah masuk Islam, namun hatinya selalu khawatir akan bencana yang akan menimpa Makkah jika kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di seluruh Jazirah Arab itu, kelak menyerbu ke dalam kota.

Dengan duduk di atas seekor bagal putih kepunyaan Nabi, Abbas berangkat ke daerah Arak, dengan harapan dapat berjumpa dengan orang mencari kayu, atau tukang susu atau dengan siapa saja yang sedang pergi ke Makkah. Ia akan menitipkan pesan kepada penduduk kota itu tentang kekuatan pasukan Muslimin yang sebenarnya supaya mereka kelak menemui Rasulullah dan minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota dengan kekerasan.
 
Sejak pihak Muslimin berlabuh di Mar Az-Zahran, pihak Quraisy sudah mulai merasakan adanya bahaya yang sedang mendekati mereka. Maka mereka mengutus Abu Sufyan bin Harb, Budail bin Warqa' dan Hakim bin Hizam—kerabat Khadijah—untuk mencari-cari berita serta mencari tahu seberapa jauh bahaya yang mungkin datang mengancam.

Sementara Abbas sedang mengendarai bagal Nabi yang putih itu, tiba-tiba ia mendengar ada percakapan antara Abu Sufyan bin Harb dengan Budail bin Warqa'. "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan tentara seperti yang kita lihat malam ini," kata Abu Sufyan.
 
"Tentu itu api unggun Khuza'ah yang sudah dirangsang perang," timpal Budail.

Abbas yang sudah mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu memanggil dengan nama julukannya, "Abu Hanzalah!"
 
"Abul Fadhl!" sahut Abu Sufyan.
 
"Abu Sufyan, kasihan engkau!" kata Abbas. "Rasulullah berada di tengah-tengah rombongan itu. Apa jadinya Quraisy kalau mereka memasuki Makkah dengan kekerasan."
 
"Apa yang harus kita perbuat!" kata Abu Sufyan. "Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu."
 
Abbas menaikkan Abu Sufyan di belakang bagal dan diajaknya berangkat bersama-sama, sedang kedua temannya disuruhnya kembali ke Makkah. Ketika kaum Muslimin melihat bagal itu, mereka membiarkannya lewat. Abbas berjalan di tengah-tengah 10.000 orang yang sedang memasang api unggun, yang sengaja dipasang untuk menimbulkan kegentaran dalam hati penduduk Makkah.
 
Akan tetapi ketika bagal itu lewat di depan api unggun Umar bin Khathab, Umar melihat dan mengenali Abu Sufyan. Ia juga bahwa Abbas hendak melindunginya. Umar segera menemui Rasulullah dan meminta izin kepada Nabi untuk membunuh Abu Sufyan.
 
"Rasulullah," kata Abbas. "Saya sudah melindunginya."

Menghadapi situasi semacam itu dan waktu sudah malam pula, terjadi perdebatan yang kadang sengit antara Umar dan Abbas.

Rasulullah kemudian berkata, "Bawalah  dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok bawa kemari!"
 
Keesokan harinya, ketika Abu Sufyan dibawa kembali menghadap Nabi dan disaksikan oleh pembesar-pembesar dari kalangan Muhajirin dan Anshar terjadi dialog antara Rasulullah dan Abu Sufyan.
 
"Kasihan kau Abu Sufyan. Bukankah sudah tiba waktunya sekarang engkau harus mengetahui, bahwa tak ada Tuhan selain Allah?" kata Rasulullah.
 
Abu Sufyan menjawab, "Demi  ibu-bapakku, sungguh bijaksana engkau. Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga. Aku memang sudah menduga, bahwa tak ada Tuhan selain Allah, itu sudah mencukupi segalanya."
 
"Kasihan engkau Abu Sufyan, bukankah sudah tiba waktunya engkau harus mengetahui bahwa aku Rasulullah?"
 
"Demi  ibu-bapakku, sungguh bijaksana engkau. Sungguh pemurah engkau dan suka memelihara hubungan keluarga. Tetapi mengenai hal ini, sungguh sampai sekarang masih ada sesuatu dalam hatiku."
 
Abbas campur tangan. Ia bicara dengan ditujukan kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima Islam dan bersaksi bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad pesuruh-Nya. Menghadapi hal ini tak ada pilihan bagi Abu Sufyan.

"Rasulullah," kata Abbas. "Abu Sufyan adalah orang yang gila hormat. Berikanlah sesuatu kepadanya."
 
"Ya," kata Rasulullah, "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan, orang itu selamat. Barangsiapa menutup pintu rumahnya orang itu selamat dan barangsiapa masuk ke dalam masjid orang itu juga selamat."

SUMAYYAH BUDAK DISIKSA DUNIA TAPI MENDAPAT SYURGA

Tauhidnya begitu teguh, sekeras baja.  Cahaya iman di hatinya tak pernah redup.  Ia rela darahnya tertumpah, demi membela Islam, agama yang diyakini kebenarannya. Sejarah Islam menorehkan namanya dengan tinta emas sejarah. Dialah Muslimah pertama yang gugur di jalan Allah.

Wanita mulia yang layak diteladani kaum hawa itu bernama Sumayyah binti Khayyat.  Awalnya, Sumayyah hanyalah seorang hamba sahaya. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, ia bekerja kepada  Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah.  Budi pekertinya yang baik membuat Abu Hudzaifah menikahkan Sumayyah dengan saudara angkatnya bernama Yasir, seorang pria dari Yaman.

Dari hasil pernikahan itu,  pasangan Sumayyah dan Yasir dikaruniai seorang putra bernama Ammar. Kebahagian Sumayyah kian bertambah, ketika Abu Hudzaifah memerdekakan Ammar dari perbudakan. Setelah tuannya meninggal, keluarga Sumayyah hidup di bawah perlindungan Bani Makhzum sampai Ammar menginjak dewasa dan Sumayyah dan Yasir memasuki usia tua.

Hingga akhirnya, sebuah kabar gembira bagi seluruh umat manusia tiba. Seorang yang bernama Muhammad SAW datang membawa cahaya iman dan agama yang diridlai Allah SWT, yakni Islam. Muhammad adalah seorang Rasul yang membawa kabar gembira dan penyempurna akhlak manusia.

Kabar datangnya Nabi baru mengguncang seantero Makkah.  Ada orang yang tertarik, namun lebih banyak lagi yang menolak. Ammar bin Yasir dengan rasa penasaran, kemudian mendatangi Rasulullah di rumah Arqom bin Arqom dan mendengarkan langsung wahyu yang diturunkan Allah SWT.

Ammar tahu betul sifat  dan akhlak seorang Muhammad yang sangat tepuji. Ia langsung yakin dengan kebenaran firman Allah SWT yang disampaikan melalui Rasulullah SAW. Tanpa rasa ragu, Ammar mengucapkan ikrar syahadatnya dan menjadi seorang Muslim. Dengan penuh kegembiraan, Ammar menyampaikan kabar datangnya seorang Nabi itu kepada ibu dan ayahnya.

Cahaya iman ternyata menyinari hati Sumayyah dan Yasir.  Keduanya kemudian mengikuti jejak sang anak bersyahadat dan menjadi Muslimah dan Muslim. Berbeda dengan keluarga Sumayyah,  kebanyakan orang Quraisy justru sangat anti bahkan memusuhi Islam, ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

Pada awalnya, Sumayyah dan keluarganya menyembunyikan keimanan mereka terhadap Islam. Namun, tauhid yang disembunyikan rapat-rapat itu akhirnya diketahui juga. Mengetahui Sumayyah dan keluarganya telah masuk Islam, murkalah  orang-orang musyrikin, terutama Bani Makhzum, yang selama ini melindungi mereka.

Teror dan siksaan mulai mendera mereka.  Kaum musyrikin memaksa Umayyah bersama suami dan anaknya untuk melepas keyakinan. Posisi mereka yang rendah, membuat keluarga Sumayyah harus tabah menghadapi tekanan dan siksaan. Mereka hanya senantiasa memohon perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT.

Orang-orang Quraisy tanpa rasa iba menyiksan dan menyeret mereka di jalanan dan membawa mereka ke padang pasir di tengah terik matahari. Kaum kafir itu lalu  memakaikan baju besi kepada mereka untuk menambah penderitaan Sumayyah. Setelah keringat mereka berhenti mengalir, tubuh mereka kering, dan darah mereka mulai bercucuran, mereka dipaksa untuk kembali murtad dari agama Islam dan dipaksa untuk menghina dan mencaci Rasulullah.

Kerasnya siksaan tak membuat iman mereka goyah. Hingga akhirnya, Abu Jahal turun tangan untuk menyiksa Sumayyah dan keluarganya. Tangan dan kaki mereka diikat lalu dilemparkan diatas kerikil tajam dan panas.  Cambuk yang melukai tubuh mereka tak mampu melunturkan keyakinan mereka terhadap kebenaran Islam.

Di tengah siksaan yang kejam, Sumayyah dengan penuh keberanian justru menantang Abu Jahal, seorang pemimpin Quraisy yang ditakuti. Abu Jahal murka mendengar seorang perempuan menantangnya. Ia lalu membunuh Sumayyah dengan cara yang keji, demi menutupi rasa gengsinya, yang telah ditantang seorang perempuan.

Sumayyah pun gugur sebagai syahidah pertama. Ia adalah pahlawan Islam pertama yang meninggal, karena membela agama Allah. Rasulullah SAW pun secara khusus berdoa untuk keluarga Sumayyah. ''Bersabarlah keluarga Yasir. Sesungguhnya balasan kalian adalah surga,'' sabda Rasulullah SAW.

Ternyata peran wanita dalam membela Islam sungguh begitu besar. Sumayyah, sebagai orang ketujuh yang masuk Islam, berani mengorbankan nyawanya untuk membela kebenaran agama Allah. Sungguh, Sumayyah adalah Muslimah yang layak dijadikan panutan dan teladan. Namanya tetap dikenang sepanjang masa.

UMAYAH BIN KHOLAF MATI DI TANGAN BILAL

Dakwah Rasulullah yang menentang penyembahan berhala dianggap mengancam sumber kekayaan Umayyah yang berasal dari sumbangan para peziarah Ka'bah.

Harta adalah segala-galanya baginya. Sejak kecil, dia telah dikenalkan bahwa uang adalah Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan oleh apa pun.

Ayahnya, Wahab bin Hudzafah, adalah seorang pedagang Quraisy yang paling kaya dan paling beruntung dalam perdagangan di Jazirah Arabia.

Dia adalah Umayyah bin Khalaf bin Safwan, seorang pemimpin Quraisy dan ketua Bani Jumah yang terkemuka. Umayyah belajar banyak dari sang ayah. Tak heran bila kemudian dia besar menjadi pedagang yang kikir dan senang menumpuk kekayaan.

Dia pun dapat menguasai harta kekayaan yang banyak hingga merasa kuat dan berpandangan bahwa harta adalah nilai tertinggi dalam kehidupan. Sementara, nilai manusia dan kebenaran dipandang rendah.

Salah satu bisnisnya adalah membodohi rombongan penyembah berhala di Ka’bah. Pada masa itu, ribuan orang dari seluruh Jazirah Arab rela menyeberangi gurun pasir untuk datang secara berkala ke Makkah guna menemui berhala dan arca.

Mereka akan datang sambil membawa buah-buahan dan barang berharga guna menyenangkan para juru kunci Ka’bah, salah satunya Umayyah.

Umayyah merasakan betapa tingginya nilai berhala tersebut. Dari berhala itulah rezeki datang kepadanya. Dia dapat meraih harta kekayaan tanpa kesulitan dan keletihan.

Bagi Umayyah, berhala adalah gudang harta yang tidak pernah surut, sumber rezeki yang tidak pernah habis, dan sumber kekayaan yang harus dipelihara walaupun harus mengorbankan raga dan nyawa.

Hal itu terus berlangsung hingga Nabi Muhammad datang membawa ajaran yang menyapu segala bentuk politeisme dan khurafat di Tanah Arab. Rasulullah mengajak penduduk bumi untuk menghamba kepada ketauhidan yang murni dan meminta mereka agar menyingkirkan berhala dan arca sebab benda-benda mati tersebut tidak dapat mendengar, memahami, dan memberi mamfaat.

Tentu saja ajaran Rasulullah itu menjadi ancaman bagi penghidupan Umayyah, mata air kekayaannya. Pada saat itulah Umayyah dan para juru kunci Ka’bah lainnya seperti merasakan bahwa bumi mulai bergoncang di bawah kaki mereka. Bahwa, kekuasaannya mendekati kepunahan serta menuju kehancuran.

Maka, dengan sekuat tenaga mereka menentang dakwah baru itu dengan segala cara, termasuk dengan menuduh isi dakwahnya sebagai sihir, perbuatan gila, dan kadang-kadang menuduhnya sebagai praktik perdukunan. Anak-anak Umayyah pun mengikuti jejak ayahnya.

Pada Perang Badar, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu dan orang-orang yang dianiaya olehnya. Dia menjadi tuan, Maha benar Allah tatkala berfirman,
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. Al-Qashash: 5)
Adapun Umayyah bin Khalaf, kesudahannya adalah akhir kehidupan paling buruk dan paling mengerikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melemparkan bangkai kaum musyrikin ke dalam sumur Badr, hanya saja Umayyah adalah orang yang gemuk, dia membengkak seketika itu juga. Tatkala akan diceburkan ke sumur dagingnya mengelupas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Biarkanlah dia.” Lantas mereka membiarkannya di tempatnya dan menimbuninya dengan tanah, hingga terpendam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka saat beridiri, sambil menyebut nama-nama mereka seraya berkata, “Apakah kalian telah mendapati apa yang dijanjikan oleh Rabb kalian?!”
Sungguh indah, apa yang diungkapkan penyair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hassan bin Tsabit dalam menggambarkan orang-orang yang dimasukkan ke sumur, dia berkata dari sebuah syair yang panjang. Kami pilih darinya bait-bait berikut ini:
Rasulullah memanggil mereka ketika kami melempar bangkai mereka secara bersama-sama ke dalam sumur. Bukankah kalian mendapati perkataanku benar dan siksa Allah menyentuh sampai ke hati. Mereka bisu, seandainya mereka berucap niscaya akan mengatakan. Engkau benar dan engkau pemilik ide yang jitu.
Orang kuffar Quraisy kembali ke Mekah dalam keadaan murung penuh dengan kesusahan serta kekalahan yang telak. Yang pertama kali tiba dengan membawa kekalahan kaum musyrikin dan bencana mereka, adalah al-Husaiman bin Abdillah al-Khuza’i, dialah yang menyesali terbunuhnya orang-orang terhormat Quraisy seraya berkata, “Utbah telah terbunuh, demikian pula Syaibah, Abu Jahal, dan Umayyah. Kemudian dia menyebut-nyebut para petinggi itu.”
Shafwan bin Umayyah bin Khalaf berkata, sedang dia duduk dalam kamar bersama sekelompok orang dari Quraisy, “Demi Allah orang ini tidak berakal, hatinya telah terbang. Tanyakanlah kepadanya tentang aku, sesungguhnya aku mengira dia akan menyebutku.”
Sebagian mereka berkata kepada al-Husaiman, “Apakah engkau mengetahui berita tentang Shafwan bin Umayyah dan apa yang dilakukannya?”
Dia menjawab, “Ya, dia sedang duduk di kamar. Sungguh aku telah melihat bagaimana ayahnya Umayyah bin Khalaf dan saudaranya saat keduanya dibunuh.”
Demikianlah Allah telah menghinakan Umayyah, kabar kematiannya telah sampai kepada keluarganya. Dia adalah orang yang hina saat hidup dan ketika mati.
Al-Halabi rahimahullah menyebutkan dalam buku sejarahnya, “Telah sampai penghinaan ucapan laknat kepada Umayyah bin Khalaf melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah ke Madinah, karena Umayyah merupakan penyebab gangguan Rasul tercinta dan para sahabatnya yang mulia, yaitu orang-orang yang tertimpa sakit dan demam di awal hijrah mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, laknatlah Syaibah bin Rabi’ah dan Umayyah bin Khalaf sebagaimana mereka mengeluarkan kami dari tempat tinggal kami, ke tempat yang berwabah.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Umayyah bin Khalaf dan sekelompok kaum musyrikin tatkala mereka menyiksa Beliau di Mekah. Mereka semua terbunuh di Badr, karena itu di hari Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur seraya mengajak mereka berbicara dengan menyebut nama-nama mereka, “Wahai ‘Utbah bin Rabi’ah, wahai Syaibah bin Rabi’ah, wahai Umayyah bin Khalaf, wahai Abu Jahal bin Hisyam.” Beliau menghitung mereka seraya bersabda, “Apakah kalian mendapati apa yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya? Sesungguhnya aku mendapati apa yang dijanjikan Rabbku benar terjadi (kemenangan).”
Ya, Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, janji Allah Subhanahu wa Ta’ala benar adanya. Umayyah bin Khalaf memperoleh kehinaan sebagai imbalan atas apa yang diperbuat oleh kedua tangannya, Dia menjadi salah satu penghuni Neraka.
Gembong kekufuran, Umayyah bin Khalaf, salah seorang pemilik hati yang keras dari kalangan musyrikin Quraisy, termasuk  salah seorang yang berbuat keonaran dan kerusakan di muka bumi dan merusak hubungan antar sesama manusia. Jelas bagi kita perjalanan hidupnya, tidak tersisa celah dari kesempatan untuk mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan Umayyah adalah salah seorang yang paling berperan di kalangan orang-orang yang berbuat kejam baik dengan perkataan maupun perbuatan. Maka dia layak menerima siksa paling berat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia. Dan di akhirat lebih pedih dan kekal serta lebih dahsyat.
Bagi orang yang menelusuri pemikiran Umayyah dan kejiwaannya, dia akan melihat Umayyah meliuk-liuk dalam hal harta yang hina sebagai bahan pertumbuhannya, dan berkembang pemikirannya. Dia mengira bahwa harta dan kedudukan, merupakan tonggak kehidupan dan tambatan kemuliaan.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Umayyah bin Khalaf al-Jumahi mengajak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada perkara yang dibencinya, menjauhkan diri dari orang-orang miskin dan mendekati para pembesar Mekah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati kami.” (QS. Al-Kahfi: 28), maksudnya kami tutup hatinya dari menerima tauhid.
Serta menuruti hawa nafsunya.” (QS. Al-Kahfi: 28), maksudnya syirik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan sejumlah ayat yang mulia berkenaan dengan Umayyah, memperingatkan sifatnya yang tercela, mengancamnya dengan neraka. Alangkah buruknya neraka sebagai tempat kembali. Kemudian menyebut sebagian sifat yang menjadikannya termasuk penghuni neraka.
Di dalam surat Al-Lail firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Maka, kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).” (QS. Al-Lail: 14-16)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati Umayyah, bahwa dia orang yang plaing melarat, karena dia mendustakan Alquran dan berpaling dari ketaatan terhadapnya. Sebagaimana dia mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpaling dari keimanan kepadanya, bahkan menghalanginya dan mengganggu orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifatinya (orang yang paling celaka), mengkhususkan baginya siksa yang menyala-nyala dan api neraka paling panas.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata tatkala menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak ada yang masuk ke dalamnya, kecuali orang yang paling celaka.”
“Orang yang paling celaka adalah Umayyah bin Khalaf dan yang semisalnya dari orang-orang yang mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelumnya.”
Di tempat lain dalam Alquran al-Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisyaratkan sifat tercela lainnya yang ada pada Umayyah, semuanya menunjukkan keburukannya dan sifat pengecut serta kesewenang-wenanganannya. Dia tukang mengumpat, memfitnah, dan mencela. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat al-Humazah yang menjanjikan baginya api neraka yang menyala-nyala.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (QS. Al-Humazah: 1-9)
Sekumpulan ulama tafsir dan para penulis sejarah menyebutkan, surat ini turun berkenaan dengan Umayyah bin Khalaf.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Utsman dan Ibnu Umar, keduanya berkata: (Mengenai ayat ini)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.”
“Kami senantiasa mendengar bahwa (ayat inI) turun karena Umayyah Khalaf.”
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata, “Umayyah bin Khalaf, apabila dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia mengumpat dan mencelanya.”
Mengenai makna Al-Humazah dan Al-Lumazah terdapat banyak pendapat:
Al-Humazah adalah orang yang suka mencari aib, orang yang suka mencari cela manusia dan menghina di depan yang bersangkutan. Al-Lumazah adalah orang yang suka mencela, menjelakkan nasab manusia dan menghina di belakang yang bersangkutan.
Sebagian besar para tabi’in serta fuqaha di kalangan mereka, seperti al-Hasan al-Bashri, Mujahid bin Jubair –atau Jabr- dan Atha bin Abi Rabah rahimahullah berkata, “Al-Humazah adalah yang mencela, menuduh seseorang di depan orangnya. Al-Lumazah adalah yang mencela seseorang saat dia tidak ada (menggunjing).”
Inilah sifat tercela yang ada pada diri Umayyah bin Khalaf, selain mencela dan mengumpat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia pun mencerca manusia dan mencari aib mereka, saat berhadapan maupun tatkala berjauhan, ialah akhlak terendah, karenanya dia dibalas –selain dengan kekufurannya- Neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyala-nyala yang disediakan untuknya dan orang-orang sepertinya, yakni mereka yang melukan pelanggaran, melampui batas dan durhak terhadap perintah Rabb mereka, dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menzhalimi seorang pun.

HAMZAH IBN ABDUL MUTHOLIB (ASADULOH)

Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu. Sejak muda, paman Rasulullah ini memang hobi dan gemar berburu binatang.

Setelah hampir seharian menghabiskan waktunya di tempat perburuan tanpa mendapatkan hasil, ia pun beranjak pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, ia lebih dulu mampir di Ka'bah untuk melakukan thawaf.

Sebelum sampai di Ka'bah, seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an At-Taimi menghampirinya seraya berkata,"Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam telah memaki dan menyakiti keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya."

Usai mendengarkan panjang lebar peristiwa yang dialami oleh keponakannya, Hamzah terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Ia kemudian membawa busur dan anak panahnya, kemudian bergegas menuju Ka'bah dan berharap dapat bertemu Abu Jahal di sana.

Sampai di Ka'bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-bincang. Dengan tenang Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia lepaskan busur panahnya dan dihantamkan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh tersungkur. Darah segar mengucur deras dari dahinya.

"Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Sekarang, coba ulangi kembali makian dan cercaanmu itu kepadaku jika kamu berani!" bentak Hamzah kepada Abu Jahal.

Dalam beberapa saat, orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah lupa akan penghinaan yang baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut Muhammad.

Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,"Biarkanlah Abu Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas."

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian yang kuat. Ia adalah paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian. Ia juga hijrah bersama Rasulullah SAW dan ikut dalam perang Badar. Pada Perang Uhud syahid dan Rasulullah menjulukinya dengan "Asadullah" (Singa Allah) dan menyebutnya "Sayidus Syuhada" (Penghulu atau Pemimpin Para Syuhada).


Ketika sampai di rumah, ia duduk terbaring sambil menghilangkan rasa lelahnya dan membawanya berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Sementara itu, Abu Jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan kaum Muslimin berpendapat, perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin sudah tidak dapat dielakkan lagi.

Oleh sebab itu, ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Rasulullah dan pengikutnya. Bagaimanapun Hamzah tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng pelindung bagi kaum Muslimin lainnya.

Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar Jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama Islam lebih mendalam. Sejak memeluk islam, Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa raganya untuk kepentingan dakwah Islam.

Pada Perang Badar, Rasulullah menunjuk Hamzah sebagai salah seorang komandan perang. Ia dan Ali bin Abi Thalib menunjukkan keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa dalam mempertahankan kemuliaan agama Islam. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang.

Kaum kafir Quraisy tidak mau menelan kekalahan begitu saja, maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas. Akhirnya, tibalah saatnya Perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum Muslimin. Sasaran utama perang itu adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Seorang budak bernama Washyi bin Harb diperintahkan oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb, untuk membunuh Hamzah. Wahsyi dijanjikan akan dimerdekakan dan mendapat imbalan yang besar pula jika berhasil menunaikan tugasnya.

Akhirnya, setelah terus-menerus mengintai Hamzah, Wahsyi melempar tombaknya dari belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Tak lama kemudian, Hamzah wafat sebai syahid.

Usai sudah peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benak beliau bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada Hamzah dan mengambil hatinya.

Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah, Seraya berkata,"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini."

Setelah itu, Rasulullah dan kaum Muslimin menyalatkan jenazah Hamzah dan para syuhada lainnya satu per satu.

Ibnu Atsir dalam kitab Usud Al-Ghabah, mengatakan dalam Perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy. Sampai pada suatu saat ia tergelincir sehingga terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya. Lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya. Namun Hindun memuntahkannya kembali karena bisa menelannya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya: "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS An-Nahl: 126)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq Sirah-nya, bahwa Ummayyah bin Khalaf bertanya pada
Abdurahman bin Auf, "Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?"

"Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib," jawab Abdurrahman bin Auf.

"Dialah yang membuat kekalahan kepada kami," ujar Khalaf.

Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang dua bilah pedang.

Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah SAW melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.

SAAD BIN UBADAH

Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah disebut pula bersamanya Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah. Sa’ad bin Mu’adz pemuka Suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka Suku Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan Baiat Aqabah dan hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mukmin sejati.

Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang dialami hanya kaum Muslimin penduduk Makkah.

Adalah suatu hal yang wajar jika Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Makkah. Tetapi jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditakdirkan hanya bagi Sa’ad bin Ubadah seorang.

Begini ceritanya, setelah selesainya perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui janji setia orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan Rasulullah SAW, di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan menyokongnya menghadapi kekuatan­kekuatan musyrik dan kesesatan.

Timbullah kepanikan di kalangan Quraisy, dan mereka segera mengejar kafilah Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya, lalu mereka bawa ke Makkah. Di Makkah, iring-iringan ini disambut beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan pada Sa'ad sesuka hati mereka.

Bayangkan, Sa’ad bin Ubadah, sang pemimpin Madinah, mendapat perlakuan seperti ini. Ia yang selama ini melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke Madinah, telah diikat, dipukuli, dan disiksa. Dan orang-orang yang memukulnya seolah tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya di kalangan kaumnya!

Sa’ad segera meninggalkan Makkah setelah menerima penganiayaan, hingga diketahuinya dengan pasti sampai di mana persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada hak dan keselamatan. Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw, para sahabat dan Agama Islam secara mati-matian.

Rasulullah saw melakukan hijrah ke Madinah, dan sebelumnya itu para sahabatnya telah lebih dulu hijrah. Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari tabiat pembawaan, maupun dari turunan.

Ia adalah putra Ubadah bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih tenar dari ketenaran manapun juga. Dan memang, kepemurahan Sa’ad di zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah berkata, “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw dan bagi seluruh isi rumahnya."

Kata mereka pula, “Biasanya seorang laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang!”

Oleh sebab itu, Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar ditambahi rezki dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata, “Ya Allah, tiadalah yang sedikit itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku!”

Wajarlah apabila Rasulullah saw mendoakannya, “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu!”

Sa’ad tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya bersama Pasulullah SAW, pengorbanannya amat penting dan menentukan.

Ibnu Abbas RA berkata, “Di setiap peperangannya, Rasulullah SAW mempunyai dua bendera; bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah."

Pada hari-hari pertama pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, Sa’ad pergi menjumpai Amirul Mukminin dan dengan blak-blakan berkata kepadanya, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar, lebih kami sukai daripada anda. Dan sungguh, demi Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda.”

Dengan tenang Umar menjawab, “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya."

Sa’ad menjawab pula, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda.”

Dengan kata-kata yang diucapkannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab itu, tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampiaskan amarah atau menyatakan kebencian hatinya. Karena orang yang telah menyatakan ridhanya kepada putusan Rasulullah SAW, sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai seorang tokoh seperti Umar, selama dilihatnya ia pantas untuk dimuliakan dan dicintai Rasulullah.

Maksud Sa’ad ialah bahwa ia tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi pertikaian antaranya dengan Amirul Mukminin. Pertikaian yang sekali-kali tidak diinginkan dan disukainya. Maka disiapkannyalah kendaraannya, menuju Suriah. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di Hauran, ajalnya telah datang menjemputnya dan mengantarkannya ke sisi TuhannyaYang Maha Pengasih.

ABDURRAHMAN BIN MULJAM

Kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan tonggak penting dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang Yahudi -yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala -, dan penganut Nashâra -yang berjalan tanpa petunjuk ilmu- akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan.
                 Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri ‘Abdur- Rahmaan bin Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawaarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari jama’atul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amîrul-Mu`minîn ‘Ali bin Abi Thâlib, yang juga kemenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


SIAPAKAH ‘ABDUR-RAHMÂN BIN MULJAM?



                   Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap ‘Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.
Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Qur`ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah ‘Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah ‘Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`ân di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, ‘Amr bin al-’Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qâri.
Dalam surat balasannya, ‘Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shâlih, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`ân kepada masyarakat”.
Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh ‘âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.

MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP ‘ALI BIN ABI THÂLIB



                   Inilah salah satu keanehan ‘Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij – ‘Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin ‘Abdillah at-Tamîmi dan ‘Amr bin Bakr at-Tamîmi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.
Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”
                   Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al ‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.
Rencana ‘Abdur- Rahmân bin Muljam untuk membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.
                    Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.
Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya,”Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân untuk mewujudkan rencana jahat itu.
                  Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja’i. Katanya,”Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
                  Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan ‘Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah ‘Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.
                  Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan ‘Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu ‘Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-’Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
                  Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai ‘Ali),” lantas ia membaca ayat :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah/2:207].[4]
Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.

AKHIR KEHIDUPAN ‘ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM



                  Ketika Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: “Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su`ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita”.
                 Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari ‘Imrân bin Haththân. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait sya’ir sebagai pujian yang ditujukan kepada ‘Abdur-Rahmân bin Muljam:
Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.
Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na’ûdzu billahi min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.

BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS



                1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawaarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat -sebagai generasi pertama umat Islam- hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata.
               2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar’i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.
               3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a’lam

             Wafatnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan z bukan akhir dari musibah yang menimpa umat. Rantai fitnah terus bersambung menimpa umat sebagai ujian dari Allah l, sebagaimana Rasulullah n kabarkan dalam sabdanya:
وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jika pedang telah dijatuhkan atas muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”

Berita ini terjadi seperti apa yang Rasul kabarkan. Ketika khalifah Ar-Rasyid, Amirul Mukminin ‘Utsman z terbunuh, sejak saat itulah peperangan terus berlangsung di tengah kaum muslimin, dan akan berlanjut hingga hari kiamat. La haula wala quwwata illa billah
Setelah wafatnya ‘Ustman z, menjadi besarlah dua firqah sesat yang saling bertolak belakang, Khawarij dan Rafidhah. Rafidhah melampaui batas dalam mengagungkan Ali z dan ahlul bait hingga mengatakan bahwa Ali adalah pencipta dan sesembahan. Sementara Khawarij, mereka mengkafirkan sang khalifah, hingga darah beliau pun mereka halalkan.
Khawarij yang dulunya bermula dari pemikiran sebagaimana tampak dalam kisah Dzul Khuwaishirah, kini muncul sebagai sebuah firqah sesat yang memiliki akar dan kekuatan.
Sekilas biografi dan keutamaan Ali bin Abi Thalib 

               Beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim Al-Qurasyi z, putra paman Rasulullah n. Sahabat yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk jannah ini lahir sebelum kerasulan, tercatat sebagai sahabat pertama yang masuk Islam di masa kecilnya.
Tersohor sebagai sosok pemberani, hingga Rasulullah n menugaskannya tidur di rumah beliau saat hijrah ke Madinah, di tengah kepungan pemuda-pemuda Quraisy yang siap dengan pedang-pedang tajam yang terhunus.
Ramadhan, tahun 2 Hijriyah, beliau membawa panji perang Badr, peperangan dahsyat yang telah mengukir kejayaan Islam. Janji Allah l pun beliau raih bersama seluruh ahlu Badr, berupa jaminan ampunan-Nya. Allah l berfirman tentang Ahlu Badr:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الْجَنَّةُ
“Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh telah pasti atas kalian Al-Jannah.”

Tahun 7 Hijriyah, Rasulullah n kembali memberi kepercayaan kepadanya memegang bendera perang Khaibar. Dalam perang itu, Ali mendapat jaminan bahwa Allah l dan Rasul-Nya n telah mencintainya. Malam hari sebelum perang Rasul n bersabda:
لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ
“Sungguh aku akan berikan esok hari bendera perang pada seorang yang mencintai Allah l dan Rasul-Nya dan Allah l serta Rasul-Nya mencintainya, melalui tangannya Allah l bukakan kemenangan.”

Ali bin Abi Thalib z adalah sosok yang masyhur dalam kefasihan dan ketajaman bicara, hingga Rasulullah n memercayainya untuk menyampaikan ayat-ayat dari awal surat At-Bara’ah (At-Taubah) kepada orang-orang kafir Quraisy di musim haji tahun 9 H
Ali bin Abi Thalib menyertai Rasulullah n dalam semua peperangan, kecuali perang Tabuk. Beliau tidak mengikutinya karena Rasulullah n memberi kepercayaan mengganti posisi Rasulullah n di Madinah, satu amanah yang besar tentunya. Sempat beliau bersedih karena tidak bisa menyertai Rasul n dalam perang tersebut. Namun sekali lagi justru Rasul n memberikan berita yang menyejukkan, sabda yang menunjukkan keutamaan beliau. Rasul n berkata: “Engkau denganku seperti kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku.”
Cukuplah sebagian berita di atas sebagai hujjah yang menggambarkan keutamaan beliau di sisi Allah l.
Profil pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib 

                  Pernahkah terbayang bahwa sahabat semulia beliau dan orang yang sangat dekat darahnya dengan Rasulullah n akan dibunuh oleh seorang yang dzahirnya ahli ibadah?
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, bukan orang jalanan yang terkenal peminum khamr, pezina, atau seorang fasik. Bukan! Justru orang akan heran ketika mendengar bahwa Ibnu Muljam adalah seorang ahli ibadah, ahli shalat, shaum, dan penghafal Al-Qur’an.
Akan tetapi demi Allah l, kecerdasan dan semangat ibadahnya tidak disertai dengan kesucian jiwa. Dia tenggelam dalam fitnah Khawarij.
Khawarij memiliki sekian sifat sebagaimana Rasulullah n sabdakan, yang seluruhnya ada pada diri Ibnu Muljam. Di antaranya, mereka adalah kaum yang banyak membaca Al-Qur’an tetapi tidak memahami apa yang dibaca. Bahkan memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari kebenaran, bacaannya hanya sekadar melewati kerongkongan. Di antara sifat Khawarij, mereka biarkan para penyembah berhala dan mengkafirkan serta memerangi ahlul Islam. Cukuplah sebagai bukti hal ini, mereka memerangi para shahabat generasi terbaik dari umat ini.
Rencana pembunuhan Ali bin Abi Thalib 


                  Gambaran kerusakan fikrah (pemikiran) Khawarij tampak dalam pertempuran Nahrawan (39 H). Peperangan besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z dan firqah Khawarij tersebut menyisakan api fitnah dan bara kebencian di dada-dada Khawarij.
Dalam perang ini Ali bin Abi Thalib z menumpas habis sebagian besar Khawarij. Apa yang beliau lakukan sesuai dengan perintah Rasulullah n di masa hidup beliau. Ali bin Abi Thalib z berkata di hari Nahrawan:
أُمِرْتُ بِقِتَالِ الْمَارِقِينَ وَهَؤُلَاءِ الْمَارِقُونَ
“Aku diperintah (Rasulullah) untuk memerangi Al-Mariqin, dan mereka adalah Al-Mariqin.”

Sisa-sisa Khawarij dalam perang Nahrawan lari dengan membawa kebencian kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z, hingga kemudian mereka melakukan pembicaraan rahasia merancang pembunuhan terhadap Ali z.
Demikian sunnatullah atas hamba-Nya yang beriman. Allah l menetapkan cobaan sesuai kadar keimanan mereka. Allah l telah catat wafatnya Ali bin Abi Thalib z dengan musibah yang mengangkat beliau kepada derajat tinggi dan mulia di sisi-Nya.
Kabar Rasulullah  dan rencana pembunuhan

                  Jauh-jauh hari, Rasulullah n telah mengabarkan kepada Ali z tentang musibah yang akan menimpanya. Beliau bersabda:
أشْقَى الْأَوَّلِينَ عَاقِرُ النَّاقَةِ وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ-وَأَشَارَ حَيْثُ يُطْعَنُ
“Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (dari kaum Nabi Shalih). Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali!
seraya Rasulullah n menunjuk letak tubuh mana Ali ditikam.
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam 
Ath-Thabaqatul Kubra (3/35) dengan sanad mursal, akan tetapi memiliki syawahid (penguat-penguat) dari hadits lain. (Lihat pembahasan hadits ini dalam Ash-Shahihah 3/78 no. 1088)
Hadits di atas adalah kabar akan wafatnya Ali bin Abi Thalib z dalam keadaan syahid, sekaligus hukum kesesatan bagi mereka yang membunuh beliau.
Jika kesesatan telah masuk ke relung hati

                   Kesesatan telah melingkupi hati-hati Khawarij hingga timbangan kebenaran pun terbalik. Menilai manusia paling mulia di muka bumi saat itu sebagai orang yang pantas ditumpahkan darahnya.
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, Al-Burak bin Abdillah At-Tamimi, dan ‘Amr bin Bukair At-Tamimi, mereka –tiga orang Khawarij– berkumpul di Makkah membuat kesepakatan bersama, dan tekad bulat untuk membunuh tiga sahabat mulia, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan ‘Amr bin Al-Ash g.
Demikianlah ketika hati telah mengeras dan hidayah telah jauh dari seseorang. Tidakkah mereka renungkan kemuliaan sahabat Rasulullah n? Tidak sadarkah mereka bahwa Rasulullah n telah menjamin jannah bagi Ali bin Abi Thalib z? Kalau memang Ali kafir, mengapa Allah l memberikan jaminan jannah? Apakah Allah l tidak tahu?

Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah l
?” (Al-Baqarah: 140)
Makar busuk itu mereka mulai. Segala jalan mereka tempuh untuk menyudahi orang-orang mulia yang telah Allah l ridhai dan Allah l cintai.
Dalam pertemuan rahasia tersebut, Abdurrahman bin Muljam berkata: “Serahkan pembunuhan Ali kepadaku.”
Al-Burak berkata, “Serahkan Muawiyah kepadaku.”
Lalu ‘Amr bin Bukair berkata: “Aku akan bunuh Al-Ash untuk kalian.”
Demikian pembicaraan mereka di Makkah, kota Al-Haram. Kekejian telah mereka sepakati, tekad bulat telah mereka tetapi, dan semua berjanji untuk tidak saling berkhianat dalam menuju sahabat-sahabat yang akan dibunuh hingga berhasil membunuhnya, atau harus terbunuh dalam menunaikan makar ini.
Pembaca rahimakumullah. Pembunuhan berencana itu apakah mereka anggap sebagai dosa? Ternyata tidak. Justru pembunuhan itu mereka yakini sebagi ibadah, jihad dan taqarrub kepada Allah l. Mahasuci Allah l! Kemana akal-akal mereka? Di mana hati mereka? Tidakkah mereka membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mereka hafal dalam dada mereka tentang keutamaan sahabat? Tidakkah mereka cermati sabda Rasulullah n dan wasiat beliau?
Namun hati telah terkunci, akal telah diliputi kesesatan. Pergilah mereka bertiga melangkahkan kaki menuju negeri kediaman tiga sahabat tersebut untuk sebuah tekad, pembunuhan orang-orang terbaik di muka bumi!
Kita tinggalkan kisah Al-Burak dan ‘Amr bin Bukair… Kita ikuti perjalanan Ibnu Muljam Al-Muradi.
Ibnu Muljam menginjakkan kakinya di Kufah. Dia menampakkan kebaikan dan ibadah serta menyembunyikan rencana jahatnya untuk membunuh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib z.
Dengan rahasia, dia temui kawan-kawan Khawarijnya. Dalam waktu yang cukup lama di Kufah dia matangkan rencana, dia siapkan pedang, dia rendam dalam racun, untuk menegakkan “jihad”membunuh Amirul Mukminin z. Demikian setan membisikkan kesesatan di relung hatinya.
Detik-detik wafatnya Ali bin Abi Thalib 

                 Malam Jum’at, 17 Ramadhan adalah waktu yang direncanakan Ibnu Muljam untuk membunuh Ali z. Keluarlah orang yang paling celaka ini untuk mewujudkan kebinasaanya.
Di tengah keheningan akhir malam, dia dapati Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z berjalan.
Dengan penuh ketawadhu’an kepada Allah l dan penuh kecintaan pada Rabbul ‘alamin, Ali bin Abi Thalib z keluar menuju shalat shubuh, untuk berdiri di hadapan Allah l. Wajah bersinar dan hati yang hidup tampak dari sosok mulia menantu Rasulullah n, putera paman Rasulullah n. Beliau berjalan menuju saat-saat yang telah Allah l tetapkan.
Dengan tiba-tiba Ibnu Muljam menebaskan pedangnya dengan penuh kekuatan ke arah Ali bin Abi Thalib z, tepat mengenai kening yang diisyaratkan Rasulullah n dengan telunjuk beliau yang mulia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un!
                   Pedang beracun tepat mengenai kening Ali bin Abi Thalib z. Bukan sekadar goresan, namun luka yang demikian dalam hingga mencapai ubun-ubunnya –semoga Allah l meridhai Ali z. Kening yang senantiasa bersujud kepada Allah l, kening yang dipandang Rasulullah n dengan penuh cinta dan kasih sayang, kening yang telah penuh dengan debu jihad bersama Rasul, kening yang telah dijamin selamat dari api neraka, kini disambar pedang Ibnu Muljam.
                  Darah pun bersimbah… Awan kelabu meliputi Kufah, menorehkan kesedihan dalam catatan sejarah.Allah l tetapkan syahadah bagi beliau z, dan Allah l tetapkan kecelakaan bagi Ibnu Muljam Al-Khariji, sebagaimana sabda Rasulullah n:
وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ
“Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali!”

Ketika pedang mengenai Ali, beliau berseru: “Jangan biarkan orang ini lepas!” Orang-orang yang mendengar seruan Ali bergegas menangkap Ibnu Muljam. Saat itu datanglah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib z.
Ummu Kultsum berkata: “Wahai musuh Allah l, engkau telah membunuh Amirul Mukminin!”
Ibnu Muljam berkata: “Dia hanya sekadar bapakmu.” (bukan Amirul mukminin, pen.).
Kata Umu Kultsum: “Demi Allah l, aku benar-benar berharap semoga Amirul Mukninin tidak apa-apa.” Tetes-tetes air mata cinta dan kesedihan pun mengalir membasahi pipi Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib.” Ya, tetes air mata rahmah…
Dengan ketus Ibnu Muljam berkata: “Kenapa kau menangis? Demi Allah l aku telah rendam pedangku ini dalam racun selama sebulan, sungguh tidak mungkin dia akan hidup setelah aku mati, aku pasti berhasil membunuhnya!”
Malam Ahad, sebelas hari tersisa dari bulan Ramadhan tahun 40 H, wafatlah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z. Beliau dimandikan kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain c, dua cucu Rasulullah n, serta Abdullah bin Ja’far z (keponakannya), dan dikafani dengan tiga lembar kain tanpa memakai gamis, sebagaimana Rasulullah n dikafani.[13]
Ali z dibunuh dalam keadaan menuju shalat shubuh dan mengajak manusia untuk shalat. Meninggal setelah 4 tahun 8 bulan 22 hari masa kekhilafahan, di umur beliau yang ke-63. Hasbunallah wani’mal wakil.