Sabtu, 31 Mei 2014

ABDURRAHMAN BIN MULJAM

Kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan tonggak penting dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat orang-orang Yahudi -yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala -, dan penganut Nashâra -yang berjalan tanpa petunjuk ilmu- akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah kerusakan.
                 Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat dilihat pada diri ‘Abdur- Rahmaan bin Muljam. Sosok ini telah teracuni pemikiran Khawaarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari jama’atul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah melakukan pembunuhan terhadap Amîrul-Mu`minîn ‘Ali bin Abi Thâlib, yang juga kemenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


SIAPAKAH ‘ABDUR-RAHMÂN BIN MULJAM?



                   Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap ‘Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.
Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan Al-Qur`ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah ‘Umar bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah ‘Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`ân di sana, untuk memenuhi permintaan Gubernur Mesir, ‘Amr bin al-’Aash, karena mereka sedang membutuhkan seorang qâri.
Dalam surat balasannya, ‘Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu seorang yang shâlih, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu. Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`ân kepada masyarakat”.
Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil menyentuh ‘âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.

MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP ‘ALI BIN ABI THÂLIB



                   Inilah salah satu keanehan ‘Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij – ‘Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin ‘Abdillah at-Tamîmi dan ‘Amr bin Bakr at-Tamîmi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.
Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apa lagi yang akan kita perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas dendam?”
                   Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka sepakat melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al ‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.
Rencana ‘Abdur- Rahmân bin Muljam untuk membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.
                    Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru memicu niatnya yang sempat terlupakan.
Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi, wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya. Katanya,”Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân untuk mewujudkan rencana jahat itu.
                  Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin Najdah al Asyja’i. Katanya,”Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
                  Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan ‘Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah ‘Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.
                  Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17 Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan ‘Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu ‘Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-’Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
                  Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun menciderai ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan pedangnya pada bagian pelipis ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru: “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu (wahai ‘Ali),” lantas ia membaca ayat :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah/2:207].[4]
Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.

AKHIR KEHIDUPAN ‘ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM



                  Ketika Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam: “Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan (su`ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan dan keselamatan bagi kita”.
                 Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari ‘Imrân bin Haththân. Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun, perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij, menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya. Dia merangkai bait-bait sya’ir sebagai pujian yang ditujukan kepada ‘Abdur-Rahmân bin Muljam:
Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.
Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na’ûdzu billahi min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya, karena Ibnu Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.

BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS



                1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawaarij, tidak ada satu pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat -sebagai generasi pertama umat Islam- hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alasan demikian tentu menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata.
               2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan barometer syar’i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.
               3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a’lam

             Wafatnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan z bukan akhir dari musibah yang menimpa umat. Rantai fitnah terus bersambung menimpa umat sebagai ujian dari Allah l, sebagaimana Rasulullah n kabarkan dalam sabdanya:
وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jika pedang telah dijatuhkan atas muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”

Berita ini terjadi seperti apa yang Rasul kabarkan. Ketika khalifah Ar-Rasyid, Amirul Mukminin ‘Utsman z terbunuh, sejak saat itulah peperangan terus berlangsung di tengah kaum muslimin, dan akan berlanjut hingga hari kiamat. La haula wala quwwata illa billah
Setelah wafatnya ‘Ustman z, menjadi besarlah dua firqah sesat yang saling bertolak belakang, Khawarij dan Rafidhah. Rafidhah melampaui batas dalam mengagungkan Ali z dan ahlul bait hingga mengatakan bahwa Ali adalah pencipta dan sesembahan. Sementara Khawarij, mereka mengkafirkan sang khalifah, hingga darah beliau pun mereka halalkan.
Khawarij yang dulunya bermula dari pemikiran sebagaimana tampak dalam kisah Dzul Khuwaishirah, kini muncul sebagai sebuah firqah sesat yang memiliki akar dan kekuatan.
Sekilas biografi dan keutamaan Ali bin Abi Thalib 

               Beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim Al-Qurasyi z, putra paman Rasulullah n. Sahabat yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk jannah ini lahir sebelum kerasulan, tercatat sebagai sahabat pertama yang masuk Islam di masa kecilnya.
Tersohor sebagai sosok pemberani, hingga Rasulullah n menugaskannya tidur di rumah beliau saat hijrah ke Madinah, di tengah kepungan pemuda-pemuda Quraisy yang siap dengan pedang-pedang tajam yang terhunus.
Ramadhan, tahun 2 Hijriyah, beliau membawa panji perang Badr, peperangan dahsyat yang telah mengukir kejayaan Islam. Janji Allah l pun beliau raih bersama seluruh ahlu Badr, berupa jaminan ampunan-Nya. Allah l berfirman tentang Ahlu Badr:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الْجَنَّةُ
“Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh telah pasti atas kalian Al-Jannah.”

Tahun 7 Hijriyah, Rasulullah n kembali memberi kepercayaan kepadanya memegang bendera perang Khaibar. Dalam perang itu, Ali mendapat jaminan bahwa Allah l dan Rasul-Nya n telah mencintainya. Malam hari sebelum perang Rasul n bersabda:
لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ
“Sungguh aku akan berikan esok hari bendera perang pada seorang yang mencintai Allah l dan Rasul-Nya dan Allah l serta Rasul-Nya mencintainya, melalui tangannya Allah l bukakan kemenangan.”

Ali bin Abi Thalib z adalah sosok yang masyhur dalam kefasihan dan ketajaman bicara, hingga Rasulullah n memercayainya untuk menyampaikan ayat-ayat dari awal surat At-Bara’ah (At-Taubah) kepada orang-orang kafir Quraisy di musim haji tahun 9 H
Ali bin Abi Thalib menyertai Rasulullah n dalam semua peperangan, kecuali perang Tabuk. Beliau tidak mengikutinya karena Rasulullah n memberi kepercayaan mengganti posisi Rasulullah n di Madinah, satu amanah yang besar tentunya. Sempat beliau bersedih karena tidak bisa menyertai Rasul n dalam perang tersebut. Namun sekali lagi justru Rasul n memberikan berita yang menyejukkan, sabda yang menunjukkan keutamaan beliau. Rasul n berkata: “Engkau denganku seperti kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku.”
Cukuplah sebagian berita di atas sebagai hujjah yang menggambarkan keutamaan beliau di sisi Allah l.
Profil pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib 

                  Pernahkah terbayang bahwa sahabat semulia beliau dan orang yang sangat dekat darahnya dengan Rasulullah n akan dibunuh oleh seorang yang dzahirnya ahli ibadah?
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, bukan orang jalanan yang terkenal peminum khamr, pezina, atau seorang fasik. Bukan! Justru orang akan heran ketika mendengar bahwa Ibnu Muljam adalah seorang ahli ibadah, ahli shalat, shaum, dan penghafal Al-Qur’an.
Akan tetapi demi Allah l, kecerdasan dan semangat ibadahnya tidak disertai dengan kesucian jiwa. Dia tenggelam dalam fitnah Khawarij.
Khawarij memiliki sekian sifat sebagaimana Rasulullah n sabdakan, yang seluruhnya ada pada diri Ibnu Muljam. Di antaranya, mereka adalah kaum yang banyak membaca Al-Qur’an tetapi tidak memahami apa yang dibaca. Bahkan memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari kebenaran, bacaannya hanya sekadar melewati kerongkongan. Di antara sifat Khawarij, mereka biarkan para penyembah berhala dan mengkafirkan serta memerangi ahlul Islam. Cukuplah sebagai bukti hal ini, mereka memerangi para shahabat generasi terbaik dari umat ini.
Rencana pembunuhan Ali bin Abi Thalib 


                  Gambaran kerusakan fikrah (pemikiran) Khawarij tampak dalam pertempuran Nahrawan (39 H). Peperangan besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z dan firqah Khawarij tersebut menyisakan api fitnah dan bara kebencian di dada-dada Khawarij.
Dalam perang ini Ali bin Abi Thalib z menumpas habis sebagian besar Khawarij. Apa yang beliau lakukan sesuai dengan perintah Rasulullah n di masa hidup beliau. Ali bin Abi Thalib z berkata di hari Nahrawan:
أُمِرْتُ بِقِتَالِ الْمَارِقِينَ وَهَؤُلَاءِ الْمَارِقُونَ
“Aku diperintah (Rasulullah) untuk memerangi Al-Mariqin, dan mereka adalah Al-Mariqin.”

Sisa-sisa Khawarij dalam perang Nahrawan lari dengan membawa kebencian kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z, hingga kemudian mereka melakukan pembicaraan rahasia merancang pembunuhan terhadap Ali z.
Demikian sunnatullah atas hamba-Nya yang beriman. Allah l menetapkan cobaan sesuai kadar keimanan mereka. Allah l telah catat wafatnya Ali bin Abi Thalib z dengan musibah yang mengangkat beliau kepada derajat tinggi dan mulia di sisi-Nya.
Kabar Rasulullah  dan rencana pembunuhan

                  Jauh-jauh hari, Rasulullah n telah mengabarkan kepada Ali z tentang musibah yang akan menimpanya. Beliau bersabda:
أشْقَى الْأَوَّلِينَ عَاقِرُ النَّاقَةِ وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ-وَأَشَارَ حَيْثُ يُطْعَنُ
“Orang yang paling binasa dari umat terdahulu adalah penyembelih unta (dari kaum Nabi Shalih). Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali!
seraya Rasulullah n menunjuk letak tubuh mana Ali ditikam.
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam 
Ath-Thabaqatul Kubra (3/35) dengan sanad mursal, akan tetapi memiliki syawahid (penguat-penguat) dari hadits lain. (Lihat pembahasan hadits ini dalam Ash-Shahihah 3/78 no. 1088)
Hadits di atas adalah kabar akan wafatnya Ali bin Abi Thalib z dalam keadaan syahid, sekaligus hukum kesesatan bagi mereka yang membunuh beliau.
Jika kesesatan telah masuk ke relung hati

                   Kesesatan telah melingkupi hati-hati Khawarij hingga timbangan kebenaran pun terbalik. Menilai manusia paling mulia di muka bumi saat itu sebagai orang yang pantas ditumpahkan darahnya.
Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, Al-Burak bin Abdillah At-Tamimi, dan ‘Amr bin Bukair At-Tamimi, mereka –tiga orang Khawarij– berkumpul di Makkah membuat kesepakatan bersama, dan tekad bulat untuk membunuh tiga sahabat mulia, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan ‘Amr bin Al-Ash g.
Demikianlah ketika hati telah mengeras dan hidayah telah jauh dari seseorang. Tidakkah mereka renungkan kemuliaan sahabat Rasulullah n? Tidak sadarkah mereka bahwa Rasulullah n telah menjamin jannah bagi Ali bin Abi Thalib z? Kalau memang Ali kafir, mengapa Allah l memberikan jaminan jannah? Apakah Allah l tidak tahu?

Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah l
?” (Al-Baqarah: 140)
Makar busuk itu mereka mulai. Segala jalan mereka tempuh untuk menyudahi orang-orang mulia yang telah Allah l ridhai dan Allah l cintai.
Dalam pertemuan rahasia tersebut, Abdurrahman bin Muljam berkata: “Serahkan pembunuhan Ali kepadaku.”
Al-Burak berkata, “Serahkan Muawiyah kepadaku.”
Lalu ‘Amr bin Bukair berkata: “Aku akan bunuh Al-Ash untuk kalian.”
Demikian pembicaraan mereka di Makkah, kota Al-Haram. Kekejian telah mereka sepakati, tekad bulat telah mereka tetapi, dan semua berjanji untuk tidak saling berkhianat dalam menuju sahabat-sahabat yang akan dibunuh hingga berhasil membunuhnya, atau harus terbunuh dalam menunaikan makar ini.
Pembaca rahimakumullah. Pembunuhan berencana itu apakah mereka anggap sebagai dosa? Ternyata tidak. Justru pembunuhan itu mereka yakini sebagi ibadah, jihad dan taqarrub kepada Allah l. Mahasuci Allah l! Kemana akal-akal mereka? Di mana hati mereka? Tidakkah mereka membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mereka hafal dalam dada mereka tentang keutamaan sahabat? Tidakkah mereka cermati sabda Rasulullah n dan wasiat beliau?
Namun hati telah terkunci, akal telah diliputi kesesatan. Pergilah mereka bertiga melangkahkan kaki menuju negeri kediaman tiga sahabat tersebut untuk sebuah tekad, pembunuhan orang-orang terbaik di muka bumi!
Kita tinggalkan kisah Al-Burak dan ‘Amr bin Bukair… Kita ikuti perjalanan Ibnu Muljam Al-Muradi.
Ibnu Muljam menginjakkan kakinya di Kufah. Dia menampakkan kebaikan dan ibadah serta menyembunyikan rencana jahatnya untuk membunuh Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib z.
Dengan rahasia, dia temui kawan-kawan Khawarijnya. Dalam waktu yang cukup lama di Kufah dia matangkan rencana, dia siapkan pedang, dia rendam dalam racun, untuk menegakkan “jihad”membunuh Amirul Mukminin z. Demikian setan membisikkan kesesatan di relung hatinya.
Detik-detik wafatnya Ali bin Abi Thalib 

                 Malam Jum’at, 17 Ramadhan adalah waktu yang direncanakan Ibnu Muljam untuk membunuh Ali z. Keluarlah orang yang paling celaka ini untuk mewujudkan kebinasaanya.
Di tengah keheningan akhir malam, dia dapati Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z berjalan.
Dengan penuh ketawadhu’an kepada Allah l dan penuh kecintaan pada Rabbul ‘alamin, Ali bin Abi Thalib z keluar menuju shalat shubuh, untuk berdiri di hadapan Allah l. Wajah bersinar dan hati yang hidup tampak dari sosok mulia menantu Rasulullah n, putera paman Rasulullah n. Beliau berjalan menuju saat-saat yang telah Allah l tetapkan.
Dengan tiba-tiba Ibnu Muljam menebaskan pedangnya dengan penuh kekuatan ke arah Ali bin Abi Thalib z, tepat mengenai kening yang diisyaratkan Rasulullah n dengan telunjuk beliau yang mulia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un!
                   Pedang beracun tepat mengenai kening Ali bin Abi Thalib z. Bukan sekadar goresan, namun luka yang demikian dalam hingga mencapai ubun-ubunnya –semoga Allah l meridhai Ali z. Kening yang senantiasa bersujud kepada Allah l, kening yang dipandang Rasulullah n dengan penuh cinta dan kasih sayang, kening yang telah penuh dengan debu jihad bersama Rasul, kening yang telah dijamin selamat dari api neraka, kini disambar pedang Ibnu Muljam.
                  Darah pun bersimbah… Awan kelabu meliputi Kufah, menorehkan kesedihan dalam catatan sejarah.Allah l tetapkan syahadah bagi beliau z, dan Allah l tetapkan kecelakaan bagi Ibnu Muljam Al-Khariji, sebagaimana sabda Rasulullah n:
وَأَشْقَى الْآخِرِينَ الَّذِي يَطْعَنُكَ يَا عَلِيُّ
“Dan manusia paling celaka dari umat ini adalah orang yang membunuhmu, wahai ‘Ali!”

Ketika pedang mengenai Ali, beliau berseru: “Jangan biarkan orang ini lepas!” Orang-orang yang mendengar seruan Ali bergegas menangkap Ibnu Muljam. Saat itu datanglah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib z.
Ummu Kultsum berkata: “Wahai musuh Allah l, engkau telah membunuh Amirul Mukminin!”
Ibnu Muljam berkata: “Dia hanya sekadar bapakmu.” (bukan Amirul mukminin, pen.).
Kata Umu Kultsum: “Demi Allah l, aku benar-benar berharap semoga Amirul Mukninin tidak apa-apa.” Tetes-tetes air mata cinta dan kesedihan pun mengalir membasahi pipi Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib.” Ya, tetes air mata rahmah…
Dengan ketus Ibnu Muljam berkata: “Kenapa kau menangis? Demi Allah l aku telah rendam pedangku ini dalam racun selama sebulan, sungguh tidak mungkin dia akan hidup setelah aku mati, aku pasti berhasil membunuhnya!”
Malam Ahad, sebelas hari tersisa dari bulan Ramadhan tahun 40 H, wafatlah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z. Beliau dimandikan kedua putranya, Al-Hasan dan Al-Husain c, dua cucu Rasulullah n, serta Abdullah bin Ja’far z (keponakannya), dan dikafani dengan tiga lembar kain tanpa memakai gamis, sebagaimana Rasulullah n dikafani.[13]
Ali z dibunuh dalam keadaan menuju shalat shubuh dan mengajak manusia untuk shalat. Meninggal setelah 4 tahun 8 bulan 22 hari masa kekhilafahan, di umur beliau yang ke-63. Hasbunallah wani’mal wakil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar