Setiap menyebut nama Sa’ad bin Mu’adz, pastilah disebut pula bersamanya
Sa’ad bin Ubadah. Mereka berdua adalah pemuka-pemuka penduduk Madinah.
Sa’ad bin Mu’adz pemuka Suku Aus, sedang Sa’ad bin Ubadah pemuka Suku
Khazraj. Keduanya lebih dini masuk Islam, menyaksikan Baiat Aqabah dan
hidup di samping Rasulullah sebagai prajurit yang taat dan Mukmin
sejati.
Mungkin kelebihan Sa’ad bin Ubadah karena dia
satu-satunya dari golongan Anshar yang menanggung siksaan Quraisy yang
dialami hanya kaum Muslimin penduduk Makkah.
Adalah suatu hal
yang wajar jika Quraisy melampiaskan amarah dan kekejaman mereka kepada
orang-orang yang sekampung dengan mereka yaitu warga kota Makkah. Tetapi
jika siksaan itu mencapai pada laki-laki warga Madinah, padahal ia
bukan laki-laki kebanyakan, tetapi seorang tokoh di antara para pemimpin
dan pemukanya, maka keistimewaan itu telah ditakdirkan hanya bagi Sa’ad
bin Ubadah seorang.
Begini ceritanya, setelah selesainya
perjanjian Aqabah yang dilakukan secara rahasia, dan orang-orang Anshar
telah bersiap-siap hendak kembali pulang, orang-orang Quraisy mengetahui
janji setia orang-orang Anshar ini serta persetujuan mereka dengan
Rasulullah SAW, di mana mereka akan berdiri di belakangnya dan
menyokongnya menghadapi kekuatankekuatan musyrik dan kesesatan.
Timbullah
kepanikan di kalangan Quraisy, dan mereka segera mengejar kafilah
Anshar. Kebetulan mereka berhasil menangkap Sa’ad bin Ubadah. Kedua
tangannya mereka ikatkan ke atas pundaknya dengan tali kendaraannya,
lalu mereka bawa ke Makkah. Di Makkah, iring-iringan ini disambut
beramai-ramai oleh penduduk yang memukul dan melakukan siksaan pada
Sa'ad sesuka hati mereka.
Bayangkan, Sa’ad bin Ubadah, sang
pemimpin Madinah, mendapat perlakuan seperti ini. Ia yang selama ini
melindungi orang yang minta perlindungan, menjamin keamanan perdagangan
mereka, memuliakan utusan dari pihak mana pun yang berkunjung ke
Madinah, telah diikat, dipukuli, dan disiksa. Dan orang-orang yang
memukulnya seolah tidak kenal padanya dan tidak mengetahui kedudukannya
di kalangan kaumnya!
Sa’ad segera meninggalkan Makkah setelah
menerima penganiayaan, hingga diketahuinya dengan pasti sampai di mana
persiapan Quraisy untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum yang
tersingkir, yang menyeru kepada kebaikan, kepada hak dan keselamatan.
Dan permusuhan Quraisy ini telah mempertebal semangatnya hingga
diputuskannya secara bulat akan membela Rasulullah saw, para sahabat dan
Agama Islam secara mati-matian.
Rasulullah saw melakukan hijrah
ke Madinah, dan sebelumnya itu para sahabatnya telah lebih dulu hijrah.
Ketika itu demi melayani kepentingan orang-orang Muhajirin, Sa’ad
membaktikan harta kekayaannya. Sa’ad adalah seorang dermawan, baik dari
tabiat pembawaan, maupun dari turunan.
Ia adalah putra Ubadah
bin Dulaim bin Haritsah yang kedermawanannya di zaman jahiliyah lebih
tenar dari ketenaran manapun juga. Dan memang, kepemurahan Sa’ad di
zaman Islam merupakan salah satu bukti dari bukti-bukti keimanannya yang
kuat lagi tangguh. Dan mengenai sifatnya ini ahli-ahli riwayat pernah
berkata, “Sa’ad selalu menyiapkan perbekalan bagi Rasulullah saw dan
bagi seluruh isi rumahnya."
Kata mereka pula, “Biasanya seorang
laki-laki Anshar pulang ke rumahnya membawa seorang dua atau tiga orang
Muhajirin, sedang Sa’ad bin Ubadah pulang dengan 80 orang!”
Oleh
sebab itu, Sa’ad selalu memohon kepada Tuhannya agar ditambahi rezki
dan karunia-Nya. Dan ia pernah berkata, “Ya Allah, tiadalah yang sedikit
itu memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku!”
Wajarlah apabila Rasulullah saw mendoakannya, “Ya Allah, berilah keluarga Sa’ad bin Ubadah karunia serta rahmat-Mu!”
Sa’ad
tidak hanya menyiapkan kekayaannya untuk melayani kepentingan Islam
yang murni, tetapi juga ia membaktikan kekuatan dan kepandaiannya. Ia
adalah seorang yang amat mahir dalam memanah. Dalam peperangannya
bersama Pasulullah SAW, pengorbanannya amat penting dan menentukan.
Ibnu
Abbas RA berkata, “Di setiap peperangannya, Rasulullah SAW mempunyai
dua bendera; bendera Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib dan bendera
Anshar di tangan Sa’ad bin Ubadah."
Pada hari-hari pertama
pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, Sa’ad pergi menjumpai Amirul
Mukminin dan dengan blak-blakan berkata kepadanya, "Demi Allah, sahabat
anda, Abu Bakar, lebih kami sukai daripada anda. Dan sungguh, demi
Allah, aku tidak senang tinggal berdampingan dengan anda.”
Dengan tenang Umar menjawab, “Orang yang tidak suka berdampingan dengan tetangganya, tentu akan menyingkir daripadanya."
Sa’ad menjawab pula, "Aku akan menyingkir dan pindah ke dekat orang yang lebih baik daripada anda.”
Dengan
kata-kata yang diucapkannya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab
itu, tiadalah Sa’ad bermaksud hendak melampiaskan amarah atau menyatakan
kebencian hatinya. Karena orang yang telah menyatakan ridhanya kepada
putusan Rasulullah SAW, sekali-kali tiada akan keberatan untuk mencintai
seorang tokoh seperti Umar, selama dilihatnya ia pantas untuk
dimuliakan dan dicintai Rasulullah.
Maksud Sa’ad ialah bahwa ia
tidak akan menunggu datangnya suasana, di mana nanti mungkin terjadi
pertikaian antaranya dengan Amirul Mukminin. Pertikaian yang sekali-kali
tidak diinginkan dan disukainya. Maka disiapkannyalah kendaraannya,
menuju Suriah. Dan belum lagi ia sampai ke sana dan baru saja singgah di
Hauran, ajalnya telah datang menjemputnya dan mengantarkannya ke sisi
TuhannyaYang Maha Pengasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar