Kamis, 19 Juni 2014

LATAR BELAKANG MUNCULNYA DINASTI UMAYYAH

LATAR BELAKANG MUNCULNYA DINASTI UMAYYAH

1.       Asal usul Bani Umayyah
Bani umayyah merupakan salah satu kabilah dalam masyarakat Arab Quraisy. Kabilah ini memegang tampuk kekuasaan politik dan ekonomi pada masyarakat Arab. Pada saat kekuasaannya tengah memuncak, kabilah ini berhadapaan dengan misi kerasulan Muhammad saw. Karenan ya mereka menolak ajakan Nabi Muhammad saw. untuk memeluk agama Islam.
Sebenarnya, Bani Umayyah memiliki hubangan darah dengan Nabi Muhammad saw. karena keduanya merupakan Keturunan abdi manaf Anak Abdi Manaf yaitu Abdi Syam dan Hasyim menjadi tokoh dalam dan memimpin pada dua kabilah dari suku Quraisy. Anak Abdi Syam yang bernama Umayyah termasuk salah seorang dari pemimpin dari kabilah Quraisy di jaman Jahiliyah. Keduanya senantiasa bersaing untuk merebut  pengaruh dan kehormatan dari masyarakat kota Mekah.
Dalam setiap persaingan, ternyata Umayyah selalu berada pada pihak yang unggul. Hal ini disebabkan karena Umayyah memiliki unsure-unsur yang diperlukan untuku menjadi seorang pemimpin saat itu, yaitu Umayyah berasal dri keturunan keluarga bangsawan yang mempunyai harta kekayaan yang cukup. Di antara keturunan Umayyah yang menjadi khalifah umat islam setelah Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan.

2.       Proses dan sebab-sebab berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa  Am al jamaah (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin, dekat Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Peristiwa ini di tandai dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khalifah) dari tangan Hasan bin bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengskui Muawiyah bin Abi Sufyan  sebagai pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikutio oleh para pendukungnya di kota Kufah, Irak.
Meskipun kekuasaan Hasan bin Ali sangat singkat, peristiwa itu mengundang makna yang sangat penting di dalam proses perjalanan panjang sejarah politik umat Islam, karena masa-masa itu merupakan masa peralihan dari pemerintahan kahlifah yang bersifat demokratis. Menjadi pemerintahan khalifah yang monarchi yaitu masa pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M). Model atau system seperti ini kemudian dipakai oleh pemerintahan Islam pada masa pada masa-masa sesudahnya, seperti bani Abbas, Bani Fathiniyah, Bani Umayyah di Spanyol dan sebagainya.
Walaupun masa-masa pemerintahan khalifah Hasan bin Ali sangat singkat dan prosesi penyerahan kekuasaan diwarnai gejolak politik, peristiwa-peristiwa yang mengawali prosesi dan yang memiliki benang merah dengan prosesi penyerahan kekuasaan itu harus di bahas sebagai bagian penting dalam mencermati pergolakan social politik umat Islam. Pergolakan social politik itu di awali setelah kematian khalifah Usman bin Affan pada 656 M.
Setelah kahlifah Usman bin Affan tewas terbunuh di tangan para pemberontak yang tidak puas terhadap kekhalifahannya yang di anggap nepotis pada 35 H/656 M, masyarakat Madinah, khusunya para sahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Usman bin Affan. Permintaan itu dipertimbangkan dengan matang, yang pada akhirnya Ali bin Albi Thalib mau menerima tawaran tersebut.
Pernyataan tersebut membuat para tokoh besar di atas merasa tenang yang kemudian mereka dan para sahabat lain serta para pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (Bai'at) kepada Ali pada 17 Juni 656 M/18 Dzulhijjah 35 H. Pembaiatan ini mengindikasikan pengakuan umat atas kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang dianggap paling layak untuk diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan kedudukan Usman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukungnya dari Kufah, ternyata di tentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan, misalnya Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syiria dan Marwan bin Hakam yang ketika Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah, ia menduduki jabatan sebagai sekretaris khalifah. Ia menduduki jabatan sebagai sekretaris khalifah. Kedua tokoh Bani Umayyah ini berusaha mempengaruhi massa untuk tidak memberikan dukungan kepada pemimpin umat Islam yang tidak mendapatkan dukungan dari seluruh umat Islam saat itu. Bahkan ketika terjadi pemberontakan yang menyebabkan khalifah Usman bin Affan terbunuh, Marwan tampaknya tidak berusaha untuk memberikan perlindungan atau pertolongan kepada khalifah yang sedang di kepung itu. Ia tidak tampak di tempat pada saat itu. Hanya saja ketika khalifah sudah terbunuh dan jari istri khalifah terputus, ia berusaha menemukan jari dan jubah itu untuk dijadikan barang siapa orang pertama yang menemukan barang bukti berupa jubah dan jari Nailah, istri khalifah Usman bin Affan.
Dalam catatan yang diperoleh dari khalifah dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah Usman yang berlumuran darah dengan jari Nailah, istri Usman yang terputus, kemudian ia bergabung dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan para sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib, menimbulkan konflik politik berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin pada 38 H/657 M. di pihak Muawiyah muncul keinginan untuk menolak kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, selain karena situasinya kurang cocok, juga karena adanya keinginan untuk menuntut balas atas kematian khalifah Usman bin Affan. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan pemimpin umat Islam yang baru, sebelum kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan terungkap jelas. Akan tetapi, realitas politik berbeda dengan apa yang diinginkan Muawiyah dan para sekutunya. Karena beberapa saat setelah kematian khalifah Usman bin Affan, masyarakat muslim, baik yang ada di Madinah, Kufah, Basrah dan Mesir, telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, pengganti khalifah Usman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya.
Namun, Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut, dengan alasan selain seperti disebutkan sebelumnya, juga karena ada berita yang didengarnya bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat atau yang berkuasa pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Bahkan Muawiyah mengancan untuk tidak mengakuai (Ba'at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkap tragedi pembunuhan khalifah Usman bin Affan, dan menyerahkan orang yang ditengarai terlibat pembunuhan atas khalifah Usman bin Affan untuk di hukum.
Keinginan beberapa orang sahabat, seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, untuk melakukan pengusutan secara tuntas tragedi pembunuhan khalifah Usman bin Affan, bukan tidak ingin dipenuhi oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Tapi, mengingat situasinya saat itu tidak memungkinkan, karena masih dalam suasana duka dan keadaan masih kacau dan sebagainya, maka tuntutan itu tidak dikabulkan. Namun khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikannya setelah ia berhasil mengamankan situasi dan kondisi di dalam negeri. Sebab, menurut analisis khalifah Ali, pengusutan tindakan terhadap yang terlibat dalam pembunuhan khalifah Usman, sama artinya dengan memperkeruh kondisi politik dalam negeri. Karena kasus ini tidak hanya melibatkan sejumlah kecil individu, juga melibatkan banyak pihak dari beberapa daerah, seperti Kufah, Basrah dan Mesir. Di sinilah letak kepiawaian politik Ali dalam menyikapi situasi politik yang sedang kacau. Ia tidak mau terlalu banyak mengambil resiko dalam menangani persoalan yang tengah terjadi saat itu.
Permohonan menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, ternyata tidak hanya datang dari para sahabat yang telah disebutkan di atas, juga datang dari Aisyah, istri nabi Muhammad. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bertemu dengan Aisyah ketika mereka berdua kembali ke Basrah. Mereka menjelaskan situasi politik yang tengah terjadi di Madinah, sehingga Aisyah pun menginkan hal yang sama, yaitu agar kasus pembunuhan khalifah Usman segera dituntaskan khalifah Ali bin Abi Thalib.  Namun, keinginan tersebut tidak dapat dipenuhi khalifah Ali bin Abi Thalib pada saat itu. Khalifah Ali bi Abi Thalib tetap berkeinginan agar kasus itu diselesaikan dalam situasi yang tepat, yaitu pada saat situasi politik dalam negeri telah aman dan terkendali, demi menghindari konflik horizontal yang lebih luas lagi.
Akibat lambannya penanganan kasus tebunuhnya khalifah Usman bin Affan, muncul isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena ia punya kepentingan politis untuk mengerut keuntungan dalam situasi kritis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh khalifah Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tampaknya tidak beralasan, karena pada saat itu, massa yang begitu banyak dan tidak mampu mengendalikan emosi menyerbu masuk ke rumah khalifah. Bahkan kedua putra Ali, Hasan dan Husein dengan para mengikutnya, membantu menjaga kediaman khalifah dari serangan massa yang sedang marah. Namun, sebuan massa tersebut tidak dapa dibendung. Mereka menerobos rumah khalifah Usman bin Affan dan memanjat dinding rumah khalifah. Kenyataan ini tidak dapat di atasi oleh Ali dan para sahabatnya. Akibatnya, khalifah Usman meninggal mengenaskan di dalam rumah dan di hadapan keluarganya di tangan orang yang tidak diketahui identitasnya.
Hal yang patut dipertanyakan atau lebih tepatnya dicurigai dalam konteks ini adalah keberadaan para pembesar istana yang berasal dari keluarga Usman dan Bani Umaiyah, misalnya Marwan bin Hakam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat pemborantakan terjadi, tak seorang pun dari mereka berada di dekat  khalifah Usman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah tersebut. Muawiyah baru datang ke “istana” khalifah Usman bin Affan agak terlambat dan tanpa bala tentara, sesuai surat yang dikirim khalifah kepadanya. Padahal, surat yang dikirim lewat kurir bernama al-Musawwir bin Makhramah berisikan perintah agar Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim bantuan pasukan secepatnya  untuk mengatasi situasi tersebut. Tapi itu tidak dilakukannya. Dia malah pergi dikawal oleh orang kepercayaannya yaitu; Muawiyah bin Khudaij, dan Muslim bin ‘Uqbah. Muawiyah tidak membawa bala bantuan karena ia takut khalifah terbunuh sebelum bala bantuan itu tiba. Untuk mengatasi persoalan itu, Muawiyah mengusulkan agar khalifah pindah ke Syam karena di sana ia akan aman di kelilingi orang-orang Muawiyah yang setia.
Tapi usulan itu di tolak khalifah, karena Madinah adalah tempat Hijrahnya, dekat dengan para sahabat dan makam Nabi Muhammad saw. setelah ia mengambil bantuan dan meninggalkan khalifah Usman bin Affan menghadapi para pemberontak sendirian, tanpa di bantu oleh orang-orang terdekatnya.
Di antara factor penyebab kedatangan para pemberontak yang berasal dari Kufah, Basrah dan Mesir adalah karena ketidaksetujuan mereka atas kebijakan yang dikeluarkan khalifah tersebut, terutama perilaku politik gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah yang dianggap arogan oleh masyarakat Mesir dan berkuasa sewenang-wenang. Para pemberontak ini menuntut agar ia di ganti. Kemarahan mereka semakin menjadi ketika di ketahui ada seseorang berkulit hitam semakin menjadi utusan istana sedang menuju Mesir, ditangkap.
Utusan itu membawa sepucuk surat resmi yang distempel khalifah, yang isinya memerintahkan gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, sepupu khalifah Usman bin Affan, untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar, gubernur Mesir baru yang diangkat atas permintaan masyarakat Mesir, menggantikan posisi Abdullah bin Sa’ad dan para demonstran setibanya mereka di Mesir. Isi surat itu tentunya mereka semakin marah dan menuduh khalifah Usman bin Affan sengaja mau mencari masalah baru. Akhirnya mereka tidak jadi kembali ke Mesir, tapi berbalik arah menuju ke pusat kekuasaan di Madinah untuk mengancam nyawa para sahabat.
Pembawa surat itu di tangkap dan dihakimi massa, sementara surat yang di bawanya dijadikan sebagai barang bukti kesewenangan khalifah Usman bin Affan yang mengeluarkan kebijakan untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa sebab yang jelas dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah usman bin Affan. Amuk massa dan ketidakpantian penjelasan khalifah mengenai penulis surat tersebut, serta keangganan khalifah untuk menyerahkan pemegang stempel surat resmi, di tambah dengan ketidaksenangan masyarakat atas system pemerintahan yang sarat kolusi dan nepotisme, menjadi pemicu utama timbulnya demonstrasi besar-besaran yang menuntut khalifah Usman bin Affan mundur dari jabatan khalifah. Akumulasi persoalan yang dihadapi pemerintahan khalifah Usman bin Affan, merupakan problem rumit yang tidak mudah diselesaikan secepatnya, sesuai tuntutan para pemberontak. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya terhadap pemerintah yang dianggap telah melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang telah diamanatkan masyarakat muslim kepadanya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk ke dalam rumah khalifah, sehingga khalifah Usman terbunuh dengan cara yang sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Usman bin Affan (35/656 M) dan terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah baru, sangat mengguncang keluarga bani Umaiyah. Kelompok ini merasa kehilangan orang yang selama ini melindungi kepentingan mereka. Karena itu, mereka berusaha mencari informasi siapa pembunuh khalifah Usman sebenarnya dan mereka akan menuntut kematiannya dengan cara melakukan balas dendam. Untuk itu, Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelurganya melakukan provokasi kepada massa pendukung Bani Umaiyah untuk tidak mengakui kepemimpinan khalifah Ali b in Abi Thalib yang telah disumpah sebagai seorang khalifah baru.
Mereka terus melakukan pelacakan ke berbagai anggota masyarakat mengenai pembunuh Usman sebenarnya. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi bahwa orang yang terlibat dalam pembunuhan adalah Muhammad bin Abu Bakar. Karena ketika peristiwa itu terjadi, Muhammad ada di dalam, di dekat khalifah Usman. Karena itu, mereka menuntut kepada Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat menjadi khalifah, agar Muhammad bin Abu Bakar diserahkan untuk diadili. Namun, permintaan tersebut ditolak khalifah Ali bin Abi Thalib, karena segala bukti yang dituduhkan kepada anak angkatnya itu tidak berdasar sama sekali. Justru keberadaan Muhammad bin Abu Bakar saat itu semata untuk melindungi khalifah Usman dari kemungkinan terburuk yang akan terjadi saat itu. Hal itu dilakukan karena massa yang mengamuk tidak dapat dibendung, sehingga mereka akan dengan mudah masuk ke rumah khalifah Usman dan membunuhnya.
Tuduhan yang diarahkan kepada Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali bin Abi Thalib, sebenarnya bertujuan untuk menjatuhkan kekuasaan khalifah yang sah. Karena, Muawiyah bin Abu Sufyan dan para pendukungnya tidak menginginkan mereka berada di bawah kekuasaan khalifah yang dikenal tegas itu. Sebab selama ini mereka telah mendapatkan hak-hak istimewa pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan yang dikenal lemah lembut, sehingga mereka dapat memanfaatkan keadaan itu untuk kepentingan mereka masing-masing.
Kekhawatiran mereka ternyata ada benarnya. Sebab, tak lam setelah Ali bin Abi Thalib menjabat khalifah, pertama yang dilakukannya adalah memecat para pemimpin pemerintahan dan gubernur yang diangkat pada masa pemerintahan khalifah Usman bin Affan, sekaligus mengirim penggantinya, misalnya Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam yang digantikan oleh Sahal bin hunaif. Pengiriman gubernur baru ini ditolak Muawiyah dan masyarakat Syam, karena mereka telah mempunyai seorang gubernur, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur lama yang diangkat pada masa khalifah Umar bin Al-Khattab.
Pemecatan itu dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib karena menurut pengamatan khalifah sendiri, penyebab terjadinya berbagai kekacauan dan pemberontakan adalah akibat ulah muawiyah dan para gubernur lainnya yang  bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Begitu juga mengenai peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, juga karena kelalaian mereka. Buktinya, massa melakukan pemberontakan, orang-orang dekat khalifah, seperti Muawiyah bin Abu Sufyan dan Marwan bin Hakam, tidak dapat berbuat banyak, meskipun orang seperti Muawiyah memiliki pengikut dan kekuatan yang bisa diandalkan untuk menghalau kekuatan massa saat itu. Inilah yang menjadi dasar kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib untuk melakukan pemecatan para pejabat yang pernah dibentuk usman bin Affan.
Sebenarnya, para kerabat dan sahabat khalifah Ali bin Abi Thalib, seperti Mughirah bin Syu’bah dan Abdullah bin Abbas, telah menasihatinya agar menunda rencana penggantian para gubernur, karena dikhawatirkan akan memperkeruh situasi politik dan menambah persoalan baru dalam masa pemerintahannya kelak, misalnya pemecatan gubernur Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan. Menurut mereka, kalau bisa pemberhentian itu ditunda hingga menunggu waktu yang tepat dan situasi poltik telah mereda. Sebab, Muawiyah bukan orang sembarangan dan dia bukan diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, melainkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ia tetap dipertahankan oleh khlaifah Usman pada masa pemerintahannya bukan karena nepotisme, yaitu pengangkatan seorang pejabat berdasarkan kedekatan hubungan keluarga, melainkan berdasarkan keahlian yang dimiliki para pejabat tersebut.
Oleh karena itu, Muawiyah dianggap mampu melaksanakan tugasnya sebagai gubernur Syam dan telah menunjukkan prestasi yang baik dengan hasil-hasil yang memuaskan menurut khalifah Usman bin Affan.
Dalam perkembangannya kemuadian, ternyata kekhawatiran para sahabat itu mengenai pemecatan para pejabat yang diangkat sebelumnya, seperti pemecatan muawiyah bin Abu Sufyan yang dilakukan oleh khlaifah terbukti menimbulkan reaksi menolak pemberhentiannya dan memerintahkan utusan khalifah kembali ke Madinah. Muawiyah kemudian mengutus seorang kurir dari bani Absin membawa surat penolakan tersebut, yang sebenarnya isi surat itu hanya bacaan Basmalah. Dalam perjalanan menuju Madinah, si kurir itu diperintahkan Muawiyah untuk mempengaruhi masyarakat di sepanjang jalan yang dilaluinya dengan membawa jubah khalifah Usman yang berlumur darah. Muawiyah dan penduduk Syam menuduh Ali bin Abi Thalib terlibat dalm kasus pembunuhan khalifah Usman.
Kebijakan lain yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib yang dapat memancing reaksi dari para mantan penguasa pada orde khalifah Usman adalah soal penarikan kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan khalifah Usman secara tidak sah kepada kerabat dekatnya. Di samping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib mengeluarkan kebijakan ekonomi dengan memberikan tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal.
Kebijakan ini dilakukan secara merata, tanpa mempertimbangkan senioritas dan junioritas dalam Islam. Hal ini yang membuat kegusaran para penduduk dan sahabat yang masih tinggal di Madinah adalah keinginannya untuk memindahkan pusat pemerintahan sementara ke Kufah pada 656 M/36 H. Meskipun kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahan ini tidak berlaku permanen, tetap menimbulkan masalah pada masa kepemimpinannya.
Kemungkinan alasan pemindahan pusat pemerintahan sangat politis sifatnya. Sebab Ali tidak banyak mendapatkan dukungan kuat dari para sahabat yang masih tinggal di Madinah, seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, yang ternyata kemudian mereka membuat satu kesepakatan dengan Aisyah untuk menentang kekuasaan khalifah. Selain itu, Kufah letaknya sangat strategis untuk melakukan serangkaian serangan terhadap para pemberontak, baik di Basrah maupun di Syam, Damaskus. Serangan itu dilakukan karena antara lain, masyarakat kedua kota tersebut kurang menyukai kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Langkah-langkah “revolusioner” yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan masyarakat, terutama mereka yang terkena langsung akibat kebijakan tersebut. Maka tak heran kalau kemudian khalifah menghadapi oposisi yang sangat kuat dari berbagai tokoh terkenal, misalnya dari Thalhah, Zubair dan Aisyah serta Muawiyah bin Abu Sufyan. Meskipun Thalhah dan Zubair merupakan sahabat besar yang menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.
Namun, karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dianggap revolusioner dan dalam pegmatan mereka berdua tidak akan mampu menyelesaikan masalah, maka keduanya meminta agar penggantian para gubernur, terutama Muawiyah bin Abi Sufyan, ditunda terlebih dahulu dan melihat situasi yang memungkinkan untuk melakukan berbagai kebijakan lainnya.
Sikap dan perasaan tidak suka yang dilakukan Thalhah, Zubair dan Aisyah kepada khalifah Ali bin Abi Thalib disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain ketidakmampuan khalifah mengatasi kritis politik berkepanjangan dan penyelidikan kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan yang tidak kunjung usai, karena tidak dilakukan khalifah Ali. Bahkan kelompok ini menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan balas dendam atas kematian Usman bin Affan dan menyerang khalifah Ali bin Abi Thalib karena tidak menghukum para pemberontak sebagai pembunuh. Selain itu, kedua sahabat besar tersebut, sejak awal memperlihatkan keangganan untuk menentukan sikap mereka, apakah mengangkat atau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah atau tidak. Mereka baru mau mengakui kekhalifahan itu setelah mendapat desakan dari para pemberontak.
Menurut sejarawan muslim bernama Ibnu Atsir, pengakuan mereka terhadap kekuasaan Ali bin Abi Thalib bukan tanpa pamrih. Mereka tampaknya menginginkan kedudukan sebagai gubernur, misalnya Thalhah bin Ubaidillah menginginkan jabatan gubernur di Yaman dan Zubair di Iraq.
Namun keinginan mereka ditolak khlaifah Ali bin Abi Thalib dengan alasan mereka berdua adalah sahabat besar yang harus membantu khalifah dalam mengatasi berbagai persoalan yang sedang terjadi di dalam pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Selain itu, khalifah juga menginginkan agar mereka berdua tidak meninggalkannya, karena ia memerlukan dukungan dan nasihat kedua sahabat besar tersebut. Penolakan ini tentu saja sangat mengecewakan kedua sahabat besar itu. Bahkan mereka kemudian  melakukan aksi untuk mempengaruhi masyarakat sebagai pelampiasan kekecewaan tersebut dengan mengatakan Ali bin Abi Thalib tidak mampu menjalankan pemerintahan dan gagal menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman. Tindakan ini dilakukan semata bertujuan untuk menjatuhkan citra kepemimpinan dan pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Banyaknya persoalan yanh dihadapi kedua sahabat besar itu, akhirnya melahirkan sebuah kenangan pahit bagi mereka. Untuk menghindari terjadinya konflik fisik, kedua tokoh itu meminta kepada khalifah agar diberikan izin meninggalkan Madinahnuntuk melaksanakan ibadah Umrah ke Mekkah.
Mendengar permintaan ini, khalifah Ali bin Abi Thalib hanya mengatakan bahwa kuizinkan untuk melaksanakan Umrah. Namun, demi Allah, bukan itu sebenranya tujuan utama kalian. Kalian hanya ingin menghindar dari persoalan yang tengah terjadi. Karena itu, laksanakanlah. Jelasnya, sebenarnya kepergian mereka ke Mekkah tidak hanya sekedar untuk melaksanakan ibadah Umrah, juga melakukan sesuatu yang dapat merusak citra kepemimpinan khalifah Alii bin Abi Thalib dengan cara membuat kekacauan dengan mempengaruhi massa agar tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, ssebelum khalifah Ali berhasil mengungkap kasus tragedy pembunuhan khalifah Usman bin Affan secara tuntas.
Di luar kota Madinah, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam bertemu dengan Aisyah yang baru saja melaksanakan Umrah. Dalam pertemuan itu, Aisyah menanyakan tentang situasi kota Madinah. Thalhah bin Ubaidillah menjawab, Madinah rusuh dan Usman di bunuh, kemudian rakyat memba’iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Mendengar berita itu, Aisyah terkejut dan marah. Kemudian ia bersumpah, demi Allah, meskipun langit akan runtuh, aku tidak akan peduli. Aku akan menuntut balas atas kematian khalifah Usman bin Affan. Setelah itu, Aisyah tidak jadi pulang ke Madinah, tapi kembali lagi ke Mekkah.
Di kota mekkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah, merencanakan sesuatu untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Selain mereka, dalam kelompok ini bergabung pula dua orang mantan gubernur yang baru saja dipecat dari jabatannya oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah Ya’ali bin Umayah, mantan gubernur yaman, dan Abdullah bin Amir, mantan gubernur Basrah. Mereka bersekutu untuk menghadapi khalifah Ali bin Abi Thalib dan menuntutnya untuk segera menyelidiki kasus terbunuhnya Usman bin Affan. Kelompok ini kemudian menuju Basrah untuk menghimpun kekuatan.
Namun, tidak semua penduduk kota itu mendukung ajakan Aisyah untuk memerangi khalifah. Meskipun begitu, mereka berhasil menawan gubernur Basrah, Usman bin hanief, yang diangkat khalifah Ali. Peristiwa itu memicu gerakan konflik baru diantara khalifah Ali dengan para penantangnya, termasuk Sitti Aisyah. Pertentangn ini berujung pada pertempuran yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang Jamal (Unta). Dinamakan Perang Jamal, karena Sitti Aisyah mengendarai Unta ketika pergi ke medan perang untuk menentang khalifah Ali.
Ada hal penting yang patut dicatat alam konteks ini adalah bahwa Aisyah dipengaruhi oleh Abdullah bin Zubair yang katanya berambisi untuk menjadi khalifah, agar Aisyah bersedia bergabung dengan mereka untuk melakukan tindakan menentang khalifah Ali. Ajakan mereka disambut baikoleh Aisyah, sehingga ia mau terjun ke dalam dunia politik praktis guna meminta pertanggungjawaban Ali bin Abi Thalib atas terjadinya kekacauan politik yang melanda umat Islam.
Sebenarnya, pihak khalifah telah mempersiapkan pasukan-pasukan untuk menggempur kekuatan Muawiyah, seorang gubernur Syam yang membangkang dan tidak mengakui kekhalifahannya. Namun, setelah mendengar berita dari saudaranya, Aqil bin Abi Thalib dari Basrah bahwa Aisyah telah mempersiapkan diri untuk memeragi khalifah Ali bin Abi Thalib, Ali membelokkan pasukannya menuju Basrah untuk mengatasi pemberontakan tersebut. Akhirnya kedua kekuatan itu bertemu di Kharaibah, dekat Basrah pada tanggal 4 Desember 656 M/ 10 jumadil Akhir 36 H.
Menghadapi situasi seperti itu, khalifah Ali bin Abi Thalibmencoba bersikap tegar dengan berupaya menyelesaikan lewat cara-cara damai. Hal itu dilakukannya smata untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara kedua belah pihak. Untuk itu, Ali mencoba berbicara dengan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pada intinya, kedua sahabat besar itu sepakat bahwa persoalan itu harus diselesaikan lewat perundingan, demi menghindari konflik fisik.
Namun, ternyata para pendukung mereka tidak menginginkan perdamaian. Mereka terus mendesak agar pertempuran terus dilanjutkan. Akhirnya tidak ada pilihan lain lagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan tersebut, kecuali melalui pertempuran. Dalam pertempuran itu, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam tewas terbunuh. Sementara Aisyah selamat dan diperlakukan dengan baik oleh khalifah dan dikembalikan ke Madinah yang ditemani oleh saudara laki-lakinya, yaitu Muhammad bin Abu bakar.
Peristiwa peperangan unta ini tentu saja merupakan masalah politik tersendiri dalam masa pemerintahan khalifah Ali, sehingga harus ekstra hati-hati dalm menangani setiap kasus kritis politik yang terjadi. Karena itu, dalam setiap tindakannya kemudian, Ali sangat kritis dan berhati-hati dalam menghadapi segala bentuk tantangan, meskipun kemudian sikapnya ini banyak merugikan dirinya karena dimanfaatkan oleh para pendukungnya, misalnya dalam perang shiffin. Peperangan yang terjadi antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 657 M. dampak politis dan mungkin juga teologis dari peperangan tersebut adalah terpecahnya kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib menjadi bebrapa kelompok antara lain pendukung setia Ali (Syi’atu Ali) dan kelompok sempalan (Khawarij).
Peperangan tersebut dipicu oleh ketidaksukaan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Bahkan ia menolak melakukan sumpah setia (bai’at) sebagai pengakuan dirinya atas kepemimpinan khalifah Ali. Hal itu antara lsin disebabkan karena Ali dianggap ingin menggeser atau mencopot kedudukan Muawiyah dari jabatan gubernur Syiria yang telah diperolehnya sejak masa pemerintahan khalifah Umar bin Al-Khattab. Selain itu Ali juga dianggap orang yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Kelambanannya dalam menangani kasus tersebut, juga menjadi salah satu pemicu terjadinya perang shiffin.
Untuk memancing kemarahan dan emosi massa terhadap ketidakberhasilan Ali bin Abi Thalib dalam menyelesaikan kasus yang tengah terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti pengungkapan kasus tragedy pembunuhan khalifah Usman bin Affan, Muawiyah melakukan provokasi dengan membawa baju khalifah Usman yang berlumuran darah. Lewat orasinya yang hebat dan kelicikannya, Muawiyah berhasil mempengaruhi massa yang kemudian mereka  berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Usman, dan bahkan Ali dianggap gagal mengatasi kasus tersebut. Dalam hal ini, Ahmad Amin berpendapat bahwa Muawiyah berpendapat bahwa dialah yang paling berhak menuntu atas kematian khalifah Usman, karena dia adalah saudaranya.
Akhirnya Muawiyah mengumpulkan pendukungnya dan segera mempersiapkan dii untuk memerangi Ali bin Abi Thalib. Dukungan masyarakat dan tentara Syiria sangat dimungkinkan, karena sejak masa kekuasaannya di Syiria, Muawiyah telah mampu membangun basis kuat militer, di samping berhasil menarik simpati dari penduduk kota tersebut. Sehingga ketika Muawiyah melakukan mobilisasi massa untuk menyerang pasukan khalifah, masyarakat Syiria memberikan dukungan penuh.
Selain berhasil menarik simpati penduduk Syiria, Muawiyah juga berhasil mempengaruhi ‘Amr bin Al-‘Ash, dengan tawaran jabatan strategis, seperti gubernur, sehingga ia menyatakan bergabung dengan pasukan Muawiyah.
Melihat keseriusan Muawiyah menolak perintah khalifah dan berusaha membuat maker dengan menggalang kekuatan massa, khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim jarir bin Abdullah Al-Bujali ke damaskus untuk memperingatkan keseriusan khalifah menggempur pasukan Muawiyah, bila ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak akan melakukan sumpah setia (bai’at) kepada khalifah Ali. Akan tetapi, utusan khalifah, Jarir bin Ibnu Qutaybah, segaja dilakukan Muawiyah agar ia dapat melakukan konsolidasi kekuatan dan konsultasi dengan para pembantunya. Di antara mereka yang terlibat dalm konsultasi itu adalah ‘Amr bin ‘Ash, politik yang telah dikenal kelicikannya dalam berdiplomasi, selain Utbah bin Abi Sufyan.
Dalam musyawarah yang dilakukan di kediaman Muawiyah bin Abu Sufyan itu ‘Amr bin ‘Ash berpendapat bahwa bai’at belum dapat dilakukan oleh Muawiyah dan masyarakat Syiria, sebelum khalifah Ali bin Abi Thalib menuntaskan tragedy pembunuhan khalifah usman bin Affan. Bila tidak dapat diselesaikan, maka bukan bai’at yang terjadi, melainkan perang.
Untuk kepentingan tersebut, dilakukan koordinasi antara Muawiyah dengan ‘Amr bin ‘Ash. Namun, sebelum persetujuan kerja sama itu disepakati, ada sebuah tuntutan sebagai bagian dari kompensasi persetujuan tersebut yang diminta ‘Amr bin ‘Ash, yaitu jabatan gubernur Mesir. Persoalan inilah yang menbuat negosiasi berjalan sangat lamban. Kelambanan ini terjadi karena muawiyah sendiri belum dapat mengeluarkan kebijakan seperti itu, sebab ia sendiri masih menjabat gubernur Syiria. Persoalan itu akan sangat mungkin diselesaikan segera, bila Muawiyah berada pada posisi pengambil kebijakan.
Dalam situasi seperti itu, Utbah bin Abu Sufyan, berpendapat bahwa sebaiknya permintaan ‘Amr bin ‘Ash dipenuhi, agar persoalan dalam negeri Syiria segera selesai dan upaya untuk pelacakan terhadap pelaku pembunuhan khalifah Usman bin Affan segera berjalan. Selain itu, kerja sama dengan ‘Amr bin ‘Ash akan menguntungkan pihak Muawiyah, karena akan menambah kekuatan barisan penentang khalifah Ali. Permintaan tersebut akhirnya disetujui Muawiyah dengan catatan bahwa ‘Amr bin ‘Ash harus membantunya upaya mencapai tujuan politisnya, yaitu keinginan muawiyah untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syiria dan menentang kebijakan khalifah Ali yang ingin mencopot kedudukannya tersebut.
Usai bermusyawarah, jarir bin Abdullah Al-Bajali, utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang ditahan, diizinkan kembali ke Kufah dengan membawa informasi mengenai penegasan kembali Muawiyah yang menolak mengakui kekhalifahan Ali, sebelum ia menuntaskan penyelidikan atas tragedy pembunuhan khalifah usman bin Affan.
Keputusan dari Syiria disampaikan jarir bin Abdullah Al-Bujali kepada khalifah Ali bin Abi Thalib di Kufah. Ia menjelaskan situasi kota Damaskus yang tengah mengadakan konsolidasi kekuatan untuk menghadapi kemungkinan pahit yang akan terjadi, misalnya perang. Mendengar informasi itu, Ali bin Abi Thalib berkesimpulan bahwa gendering perang tampaknya dibunyikan oleh Muawiyah, sehingga konflik fisik antara kedua kekuatan tidak dapat dihindari lagi.
Dalam menghadapi situasi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi khalifah, kecuali menyelesaikan persoalan tersebut secara langsung dengan memerangi para pembangkang yang diprakarsai muawiyah bin Abi Sufyan. Dengan persiapan sekitar 90.000 orang pasukan, khalifah Ali bin Abi thalib pergi menuju Syiria untuk memerangi Muawiyah. Tampaknya Muawiyah pun tidak kalah sigap. Ia telah mempersiapkan sekitar 85.000 orang pasukan untuk menghadang kekuatan khalifah Ali.
Akhirnya kedua pasukan bertemu pada suatu tempat di lembah sungai Eufrat, bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan mengadu kekuatan dengan berusaha mengalahkan lawan masing-masing.
Pertempuran berlangsung secara sengit, karena kedua pasukan mencoba mengerahkan kekuatan masing-masing untuk mengalahkan lawan tempurnya. Pada hari pertama jalannya pertempuran, kedua pasukan saling mengintai kelemahan masing-masing. Namun, pada hari kedua, tampaknya pasukan Muawiyah mulai terdesak, dan tanda-tanda kekakahan berada pada pihaknya. Menghindari situasi kritis ini, ‘Amr bin ‘Ash, tokoh politik yang dikenal licik, melakukan tipu muslihat. Di tengah berkecamuk perang, ‘Amr bin ‘Ash pada 28 Juli 675 M mengusulkan agar Al-Qur’an di ujung tombak, sebagai isyarat penghentian perang.
Tindakan ‘Amr bin ‘Ash ini diikuti pasukan Muawiyah, dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an ini akan menjadi hakim yang akan menyelesaikan persoalan ini. Mengetahui hal itu, sebagian tentara khalifah Ali bin Abi Thalib menghentikan pertempuran. Perbuatan itu tentu saja mengecewakan khalifah dan sebagian tentaranya yang mengetahui bahwa pengangkatan Al-Qur’an itu hanya sebagai tipu daya saja. Padahal kemenangan telah menghampiri pasukan khalifah. Untuk itu, Ali bin Abi Thalib mengajak kembali pasukannya agar meneruskan pertempuran karena apa yang dilakukan ‘Amr bin ‘Ash dan pasukannya hanya merupakan tipuan agar pasukan Ali bin Abi Thalib terpecah belah.
Namun usaha yang dilakukan khalifah tidak berhasil, bahkan mereka menuntut agar pertempuran dihentikan dan diselesaikan dengan cara damai melalui proses Tahkim atau Arbi. Karena itu, pertempuran di hentikan untuk membicarakan cara terbaik dalam menyelesaikan kritis politik militer yang tengah terjadi. Jeda waktu ini dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk memberi keselamatan kepada masyarakat muslim mengenai langkah-langkah terbaik yang akan diambil dalam mengatasi persoalan ini.
Desakan untuk menyelesaikan pertikaian melalui tahkim semakin kuat, sehingga tidak ada pilihan lain bagi khalifah Ali bin Abi Thalib kecuali menuruti keinginan orang banyak. Oleh karena itu, kedua belah pihak merundingkan utusan masing-masing. Dari pihak khalifah, pada awalnya Abdullah bin Abbas yang si tunjuk, tapi di tolak oleh pengikut Ali karena ia di anggap lemah dalam berdiplomasi melawan utusan Muawiyah. Kemuadian atas kesepakatanbersama antara para sahabat dengan khalifah Ali, akhirnya posisi itu ditempati oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang di tunjuk menjadi delegasi. Awalnya khalifah Ali kurang setuju atas terpilihnya Abu musa Al-Asyi’ari sebagai utusan perundingan, karena ia tahu bahwa ia bukan termasuk ke dalam kategori politisi dan militer yang memiliki kemampuan kuat untuk beradu argumentasi dalam berdiplomasi. Abumusa dikenal sebagai salah satu sahabat besar yang tingkat keimanan dan ketawaannnya tidak dapat diragukan.
Akan tetapi karena para pendukung Ali telah memilihnya dan Abu Musa sendirimenyetujui, maka tidak ada pilihan lain bagi Ali kecuali memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi utusan dalam perundingan tersebut.
Sementara dari pihak Muawiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin Al-‘Ash yang menjadi utusan. Alasan pilihan itu jatuh kepada ‘Amr karena ia dianggap orang yang memiliki kemampuan diplomatis yang sangat kuat dan mempunyai keahlian dalam bidang strategi politik diplomasi, sehingga dipercaya oleh Muawiyah untuk mrnjadi utusan dalam perundingan tersebut. Untuk kelancaran jalannya perundingan, maka masing-masing utusan, baik dari pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib maupun pihak Muawiyah Bin Abi Sufyan, mengirim utusan lain sebagai saksi, masing-masing 400 orang saksi.
Pertemuan untuk menyelesaikan krisis politik militer antara kekuatan khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan itu, dilakukan di suatu tempat bernama Daumatul Jandal (sekarang al-Jawf), sebelah Selatan Syiria pada 657 M/38 H.
Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sependapat bahwa pangkal persoalan yang kini tengah melanda umat Islam terletak pada kedua pemimpin itu, yakni Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah menurunkan keduanya dari jabatan masing-masing dan membentuk lembaga syura untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Dengan lembaga itu, diharapkan masyarakat akan mampu menentukan pemimpin mereka. Karena itu, ketika mereka memulai melaksanakan Tahkim/arbitrase, ada kesepakatan di antara kedua utusan itu, yakni baik Ali bin Abi Thalib mau pun Muawiyah, diminta untuk meletakkan jabatan masing-masing dan melepaskan klaim bahwa masing-masing sebagai pemimpin yang sah.
Dalam kesepakatan pertama, Abu Musa al-Asy’ari tampil ke depan dan memutuskan untuk mengembalikan suasana kedamaian, Ali bin Abi Thalib diminta untuk meletakkan jabatannya sebagai khalifah, dan menyerahkannnya kepada umat Islam lewat lembaga syura untuk memilih khalifah. Sementara Muawiyah diminta untuk meletakkan jabatannya, agar suasana menjadi aman dan damai. Ketik tiba giliran ‘Amr bin ‘Ash tampil ke muka umum, dengan sangat percaya diri ia meminta Ali bin Abi Thalib turun dari jabatannya sebagai khalifah,  sementara Muawiyah tetap pada posisi semula, yaitu gubernur Syiria.
Hasil perundingan itu di tolak Ali bin Abi Thalib, karena keputusan tersebut berarti menurunkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah. Sebuah jabatan yang sah menurut versu para pendukungnya.
Hasil kesepakatan ini dalam pandangan para pendukung Ali bin Abi Thalib dipandang sangat tidak adil, karena merugikan posisi Ali dan menguntungkan posisi Muawiyah yang tetap menjadi penguasa Syiria . Di sadari sepenuhnya bahwa para pengikut setia Ali, bahwa perundingan itu hanyalah tipu daya yang dilakukan oleh utusan Muawiyah, ‘Amr bin ‘Ash, sehingga mereka menuntut keadilan. Mereka yang kecewa atas hasil Tahkim ini, terutama dari pihak Ali bin Abi Thalib, menyatakan keluar dari barisan khalifah dan menyatakan sebagai oposisi. Kelompok ini kemudian dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan khawarij.
Kelompok yang keluar dari Ali bin Abi Thalib in berjumlah lebih kurang 4.000 orang. Keluarnya kelompok ini dari barisan Ali tentu saja memperlemah kekuatan barisan militer Ali bin Abi thalib dan semakin memperkuat posisi dan kekuatan militer Muawiyah. Ternyata, tidak hanya kelompok Khawarij yang tidak setuju dan kecewa atas hasil tahkim, juga Abu Musa Al-Asy’ari. Setelah terpecahnya kelompok pendukung Ali, ia kemudian menyadari kekeliruannya karena dengan secara terbuka menyatakan Ali bin Abi Thalib harus meletakkan jabatan khalifahannya dan menghilangkan klaim-klaimnya sebagai khalifah. Sementara piha Muawiyah tetap mempertahankan Muawiyah sebagai pejabat yang mendapat dukungan kuat dari mereka dan menurunkan Ali dari jabatannya.
Kekecewaannya itu di dasari atas sebuah kenyataan bahwa kelompok Muawiyah telah memanfaatkan moment itu untuk kepentingan mereka sendiri, dan tidak didasari atas hasil kesepakatan bersama bahwa masalah kepemimpinan akan diserahkan kepada dewan syura yang akan memilih pengganti mereka. Karena begitu kecewanya Abu Musa, hingga ia tidak berani melaporkan hasil tahkim kepada khalifah Ali bin Abi Thalib dan ia pergi entah ke mana. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya baik khalifah Ali, Abu Musa dan kelompok kahwarij, tidak setuju atas hasil Tahkim yang telah dilakukan.
Oleh karena begitu kecewanya kelompok khawarij atas hasil keputusan di Daumatul Jandal, mereka kemudian menyusun rencana untuk merelisasikan tujuan tersebut, kelompok khawarij yang berjumlah 4.000 orang melancarkan demonstrasi besar-besaran menentang penguasa dan orang-orang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam peristiwa Tahkim. Mereka rusuhan di setiap tempat yang kunjungi. Perjalanan mereka akhirnya sampai di Nahrawan, dan di tempat inilah khalifah Ali bin Abi Thalib menumpas pemberontakan.
Meskipun kelompok ini dapat dikalahkan, namun sebagian yang dapat menyelamatkan diri mencoba menyusun kekuatan kembali untuk mengadakan kerusuhan di Mesir. Wilayah ini menjadi sasaran mereka karena menurut pandangan mereka bahwa gubernur Qays tidak tanggap atas krisis yang tengah melanda umat Islam. Mengetahui ancaman ini, khalifah Ali bin Abi Thalib segera mengganti gubernur Qays dengan Muhammad bin Abu Bakar.
Dalam situasi seperti itu, Muawiyah mencoba mengambil kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan mengirim pasukan di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash untuk menyerang wilayah Mesir. Upaya penyerangan ini berhasil gemilang, bahkan gubernur Mesir tewas tebunuh dalam serangan tersebut. Terampasnya wilayah Mesir oleh pasukan Muawiyah dan tewasnya gubernur wilayah itu, sekali lagi menandai kekalahan khalifah Ali bin Abi Thalib dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Situasi semakintidak teratasi.kekacauan terjadi di mana-mana, sehingga khalifah Ali bin Abi Thalib tidak dapat melanjutkan pembangunan negeri Islam, sesuatu yang pernah dilakukan para pemimpin sebelumnya.
Keluarnya kelompok khawarij dari barisan Ali, secara politis tentu saja memperlemah kekuatan khalifah Ali, dan di sisi lain munculnya kelompok sempalan ini membuat pasukan Muawiyah semakin solid. Realitas politik inilah yang kurang disadari sepenuhnya oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Kenyataan pahit mendengarkan nasihat para pendukung setianya, agar tidak tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan politiknya, karena situasinya sedang rawan dan tidak kondusif.
Setelah peristiwa tahkim dan penyerangan Mesir, kelompok khawarij, yang merasa tidak puas atas hasil perundingan tersebut, semakin menyebar ke berbagai pelosok wilayah Islam. Mereka terus melancarkan kerusuhan di mana-mana untuk mengacaukan situasi politik dan melemahkan kekuatan khalifah Ali bin Abi Thalib. Bahkan mereka telah menyusun rencana untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin ‘Ash. Mereka adalah orang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam krisis politik yang terjadi. Abdurrahman bin Muljam dikirim ke Kufah untuk membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib, ‘Amr bin bakr dikirim ke Mesir untuk menghabisi nyawa ‘Amr bin ‘Ash, dan Al-Hajjaj bin Abdillah Al-Tamimi untuk membunuh Muawiyah.
Dari ketiga orang yang ditugasi membunuh para pelaku tahkim, hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil melakukan tugasnya, dengan membunuh khalifah Ali bin Abi Thalib ketika sedang melaksanakan shalat shubuh pada 24 januari 661 M/15 Ramadhan 40 H. Terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib menambah catatan hitam dalam sejarah Islam, sebab peristiwa pembunuhan itu dilakukan oleh mantan para pengikutnya yang tidak setuju atas hasil tahkim. Sehingga situasi politik umat Islam pasca kekhalifahan Ali bin Abi Thalib semakin tidak menentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar